9. Crush

3K 417 110
                                    

Terus terang Abel gugup sekali waktu mengikuti langkah Aksa memasuki kamarnya. Dia berharap Aksa mempersilahkan dia masuk ke kamar yang lain yang mungkin berada di sebelah kamar Aksa atau kamar tamu yang dimiliki oleh keluarga Aksa ini.

Abel tidak ingin Aksa melihat kegugupannya bila mereka berada di dalam kamar cowok itu. Meskipun mereka sudah sering bersama-sama di dalam kamar kosan-nya.

Tapi itu kan beda konteks.

Kalau di kamar kosan-nya, Aksa cuma sebentar saja. Paling mereka hanya makan untuk sarapan pagi setelah itu mereka berangkat sekolah. Sesekali Aksa mampir sebentar setelah mengantarnya pulang kembali ke kosan. Itupun paling cuma sebentar saja. Sekedar makan siang, bila memang mereka membeli makanan untuk makan siang dan memutuskan menghabiskannya di kosan Abel.

Atau paling Aksa hanya mampir untuk sekedar ngobrol ringan, menanyakan kegiatan belajar Abel hari ini atau dia menceritakan kegiatannya di sekolah.

Kalau sekarang, tujuan Aksa mengajak dia ke rumahnya kan untuk menginap. Tidur di dekat dengannya selama beberapa jam sampai pagi. Abel tidak yakin jantungnya akan tetap berada di tempatnya saat dia bangun nanti.

Sebab dari sejak tangan Aksa mampir ke wajahnya, untuk ikut menghapus air matanya tadi, gemuruh di jantungnya nggak reda juga. Tadi tidak terasa saat kantuk menyerang matanya tapi sekarang, saat kesadaran penuh membuatnya terjaga, debaran itu sudah berubah menjadi lonjakan.

Abel sama sekali tidak menyangka Aksa akan membawanya ke rumahnya itu.

"Ayo masuk, Bel." Aksa melebarkan pintu kamarnya saat Abel berhenti sesaat di depan pintu kamarnya. "Kamar tamu di bawah dibikin jadi ruang kerja sama mama. Kamar di sebelah gue punya Om gue yang pilot itu. Kuncinya kebawa ama dia kemarin."

Aksa menjelaskan seakan dia tahu isi kepala Abel. Apa Abel tadi menyuarakan isi pikirannya dengan gumaman sampai Aksa mendengar?

"Om lo tinggal di sini juga?"

"Iya. disuruh mama. Soalnya kan dia tinggal di Palembang sama Nenek gue. Sementara dia dinas di Jakarta. Tadinya tinggal di apartemen tapi keseringan terbang daripada di apartemen. Jadi mama nyuruh dia tinggal di sini aja. Lo nggak mau masuk?" Aksa mengundangnya lagi untuk masuk ke kamarnya lewat gerakan lehernya. "Apa lo mau tidur di gudang?" lanjutnya bergurau.

"Ada tikusnya nggak?" Abel balik bertanya menimpali dengan gurauan pula.

"Setahu gue ada satu sih," angguk Aksa dengan raut wajah serius. "Cuma temen-temennya sering datang buat clubbing."

Wajah Abel langsung melebar oleh senyum geli. "Ada DJ-nya nggak? gue daftar deh." Dia sama sekali nggak menyadari jakun Aksa yang bergerak liar menelan ludah melihat senyum cerahnya.

"Oh... Lo lebih seneng punya temen yang item, buluan dan bau ya?"

"Nggak, gue sukanya temen yang wangi kayak lo," jawab Abel tapi cuma dalam hati. "Gue masuk golongan mana aja kok." penjelasan itu yang keluar dari mulutnya untuk menyanggah Aksa.

Aksa sudah terlalu ganteng tanpa harus dipuji. Meski Abel penasaran dengan reaksi cowok jangkung itu bila dipuji oleh seseorang. Apa dia bakal tersipu-sipu kege-eran atau malah bakal lompat-lompat salto kegirangan?

"Bagus deh. Ayo masuk!" ajak Aksa lagi. "Gue nggak mau nganter lo pulang kecuali ntar pagi." lanjutnya dengan nada suara mengandung setengah ancaman.

Abel terperangah kaget. "Kok gitu sih, Sa?"

"Bel, ini tuh waktu-waktunya rawan." Aksa melangkah masuk ke dalam kamarnya sambil membuka jaket kulitnya. "Waktunya begal ama polisi lagi keliaran. Daripada nekat ngelawan salah satu dari mereka, mending kita tidur." lanjutnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan dompet dari celana jeans-nya, meletakkannya di atas meja dekat kepala tempat tidur, sebelum menoleh lagi pada Abel.

Fat LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang