꒰ 03. Kehilangan ꒱

7 3 0
                                    

Di pagi hari yang cerah tujuh tahun silam,

"Pah, ke Bromo boleh gak?"

"Ngapain tah?"

"Ya liburan lah. Bentar lagi dah masuk sekolah lho."

"Oke, oke. Bilang Mamah sama Cece, mau ikut gak?"

"Ya moso gak melu?" Tiba-tiba si sulung menyahut.

"Tapi gak usah muncak, ya?"

"Beres lah."

.

.

.

Keesokan harinya, keluarga mereka pun benar-benar melakukan perjalanan ke Gunung Bromo. Jarak tempuh dari Surabaya sampai Bromo kurang lebih sekitar seratus kilometer.

Di tengah-tengah perjalanan mereka, si bungsu Edwin yang saat itu masih berusia sembilan tahun meminta sang Papa untuk mencari toilet umum karena Ia sangat ingin buang air kecil.

Saat itu sangat sulit mendapati pom bensin apalagi toilet umum. Karena jalanan sedang lumayan sepi, sang Papa menyuruh Edwin untuk buang air disisi jalan saja.

Tidak ada pilihan lain bagi Edwin selain menuruti ucapan Ayahnya tersebut, daripada ngompol pikirnya.

Ia pun turun dari mobil dan menepi ke pinggir jalan, lalu berdiri di dekat pohon yang lumayan besar. Awalnya suasana jalan tampak sepi, tidak begitu banyak kendaraan berlalu lalang.

Sampai akhirnya terdapat sebuah minibus yang melaju sangat kencang dari arah belakang dan dalam seketika menerjang mobil milik keluarga Edwin. Edwin yang semula tenang tiba-tiba terkejut karena mendengar suara dentuman yang sangat keras dari belakangnya.

Saat Ia menengok, jantungnya serasa hilang entah kemana. Menatap mobilnya yang ringsek dengan mobil lain dibelakangnya. Air mata menghujani pipi berisinya, badannya gemetar hebat. Ia berlari menuju bangkai mobil sedan milik keluarganya.

Hatinya sangat amat hancur, terlebih saat melihat tubuh kakak perempuannya yang sangat Ia sayangi terjepit didalam sana. Ia sungguh tak kuasa mengeluarkan kata-kata meskipun hanya satu. Semua yang Ia rasakan saat itu, tumpah dalam bentuk air mata.

Edwin tidak ingat dia dibawa ke rumah sakit, sepertinya karena saat itu keadaannya tak sadarkan diri. Begitu membuka mata, yang Ia lihat adalah koridor rumah sakit.

Kepalanya dipangku oleh wanita paruh baya yang tidak Ia kenali sama sekali. Edwin mendudukkan tubuhnya yang lemas, memerhatikan sekitar, lalu wanita disebelahnya pun membuka suara.

"Sudah tak kira kamu cuma pingsan. Yang tabah ya, nak."

"I-Ibu siapa?"

"Oh, tadi saya lihat kamu pingsan di pinggir jalan."

"Kok saya dibawa kesini, Bu?"

Ibu itu tersenyum masam kearahnya, Edwin bisa merasakan hawa yang tidak enak.

"Keluarga saya mana, Bu?"

Wanita tersebut menghela napas, diam untuk beberapa saat. Disaat yang sama pertahanan Edwin mulai runtuh, air mata mulai berlinang di pelupuk matanya.

"Tadi, Ibu kamu kritis. Saya yang panggil ambulans. Saya juga khawatir sama kamu, nak."

"Terus sekarang Mama dimana?"

Ibu itu mulai menitihkan air mata, beliau merasa sangat iba pada anak laki-laki malang di hadapannya saat itu.

"Ibu kamu udah nyusul Ayah sama Kakak kamu." Ucapnya dengan suara bergetar.

Beliau melanjutkan kalimatnya, "Yang ikhlas ya, nak. Yang tabah. Mereka udah bahagia sekarang."

🖇 › ♡˖°꒰

Hai semua ^^
Hehehe maaf bgt yaa baru up skrg😬 (kyk ada yg nungguin aja.)
Ngegantung soalnya masih ada sambungannya hehehe

As always, tinggalkan jejak yaa makasii💕

crepusculumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang