Tiga

623 38 2
                                    

Matahari bersinar begitu terik, lebih dari sebuah kehangatan, dalam ruangan berpendingin Sheren duduk menunggu Pradika, tentu dengan ditemani Aluna, dan bunda, dan bang Arif yang tidak ingin dipanggil 'mas', sebab katanya tak pantas untuknya yang bukan suku Jawa, dan yang lain-lain yang akan sulit untuk disebutkan satu persatu.

"Wah..., baru Pradika yang datang, sudah ada perempuan-perempuan cantik di sini, gimana kalau nanti kita undang Super Junior ke sini ya, Bun?" Canda bapak, suami dari Bunda Nina, rekan kerja Pradika di kota ini, kota kecil tempat Sheren, Aluna dan siapapun juga yang tinggal di sini untuk tinggal dan menetap.

"Pasti bakal rame ya, hahaha..." bapak mencairkan suasana dengan candaannya.

Sheren tersenyum malu, begitu pula dengan Aluna, sementara bunda hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah remaja-remaja perempuan yang kini sedang duduk di sofa kantornya. Tidak berselang lama, Pradika tampak berjalan menuju kantor. Mereka bisa memastikan itu karena pintu bagian depan kantor terbuat dari kaca bening.

Lelaki berperawakan tinggi dan tegap itu berjalan cukup cepat, rambut hitamnya terlihat keemasan terkena pancaran sinar matahari yang masuk melewati celah dedaunan dan ranting pohon. Ia membuka pintu dan menemukan semua mata menatap padanya, ia tahu bahwa orang-orang dalam ruangan itu sedang menunggunya, atau juga membicarakan tentangnya selama ia tak ada di sana.

"Maaf Bun, Pradika terlambat, tadi ngobrol sama teman sebentar, hehehe...," Pradika tersenyum lebar memperlihatkan jejeran giginya yang tersusun rapi.

"Iya gak apa-apa, ini Sheren dan Aluna nungguin kamu,"

"Iya, makasih udah datang ya," Pradika mendadak kikuk, ia bingung harus berbicara apa terlebih lagi di sana ada bunda dan suaminya.

"Yaudah, kamu udah packing belum?" Tanya bunda sambil merapikan berkas-berkas di atas meja resepsionis.

"Iya sedikit lagi, Bun. Pradika ke atas dulu ya," langkah kakinya cepat, menaiki anak tangga satu persatu. Sementara sedari tadi Sheren dan Aluna hanya menatap lekat-lekat pria itu, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mereka.

"Sheren, Aluna, kalian bantuin Pradika gih, naik aja ke atas," bunda seolah mengerti bagaimana keadaan anak muda, ia paham bagaimana rasa yang menyesakkan dada, membuat jantung memompa darah lebih cepat dari sebelumnya, bunda tentu pernah muda.

Sheren dan Aluna saling berpandangan, ada keinginan yang begitu besar dalam diri Sheren, tapi ia merasa sungkan, ia malu, ia takut bunda menganggapnya remaja yang tidak-tidak. Ia terlalu takut untuk dicap negatif sehingga keinginannya itu ia gugurkan pelan-pelan.

"Gak apa-apa kok, Sheren. Naik saja." Bunda kembali meyakinkan.

Sheren tersenyum, ia melangkahkan kakinya menaiki anak tangga satu persatu hingga sampai ke atas. Ada ruangan pertama dengan pintu yang terbuka, Sheren mengintip dari luar pintu dan menemukan Pradika di sana, sedang membelakangi dirinya dan berkemas.

"Ha-hai, a-ada yang bisa dibantu?" Tanya Sheren terbata-bata, masih dari luar bingkai pintu.

"Ohh hai, masuklah," Pradika berbalik arah dan membenarkan letak duduknya di lantai, ia memandangi kaki ramping itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjangnya.

"Ada yang bisa ku bantu?" Tanya Sheren lagi.

"Tidak ada, semua sudah selesai," Pradika tersenyum.

"Ba-baiklah, kalau begitu apa sebaiknya aku ke bawah?" Sheren tampak begitu canggung, ia berharap Pradika tak mendengar detak jantungnya.

"Jangan, tetaplah di sana, aku ingin mengobrol berdua denganmu, sebelum aku kembali," Sheren tersenyum, ia tetap pada duduknya semula, begitu pula dengan Pradika.

Dandelion Dalam SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang