Tujuh

414 26 2
                                    

Aku mencintaimu. Kalimat itu terulang lagi dalam benaknya, tubuh Sheren mendadak kaku dengan mulut yang terasa kelu untuk berbicara. Ia menganggap tidak ada yang menarik dari dirinya, terlebih lagi dalam keadaan seperti ini, namun pria di depannya itu tampak berucap serius. Mata si pria menunjukkan sorot yang penuh kejujuran, tampak tak ada dusta di sana. Sesaat hati Sheren luluh kemudian pikirannya menghalau kalimat yang sedari tadi mengisi benaknya.

Ia melepaskan genggaman tangan pria itu secara paksa. Matanya menatap ke atas, tepat ke arah manik mata pria itu, pria yang hingga sekarang sama sekali tak ia kenal. Kali ini pria itu memandang Sheren dengan bingung, dahinya berkerut dengan alis yang naik sebelah.

"Kenapa memandangku begitu?"

"Kamu nggak percaya?" Sorot matanya mengharapkan kepercayaan dari Sheren.

"Hei, ayolah. Kita cocok." Tandasnya.

Ia menggapai kembali tangan Sheren, menggegam dengan begitu erat dan memaksa Sheren untuk mengikuti langkahnya menuju kerumunan senior yang sedang duduk di bangku koridor. Sheren berusaha melepaskan genggaman pria di depannya, pria yang semakin lama semakin membuat ia kesal. Namun tenaganya tak cukup kuat untuk melepas genggaman pria itu. Yang ia tahu genggaman pria itu begitu kuat, lalu hangat, dan terakhir membuatnya hampir lupa diri.

"Hei, menurut kalian kita cocok?" Suatu pertanyaan membuat semua yang sedang duduk di sana menjadikan Sheren pusat perhatian.

Sheren menunduk, takut hal-hal buruk akan terjadi padanya, terlebih lagi sekarang ia sedang dalam kerumunan senior. Tangannya masih tak lepas dari genggaman pria itu, pria yang kini menunggu jawaban dari orang-orang yang seangkatan dengannya dan mengaku sebagai teman-temannya.

Semua menjawab cocok dengan berbagai kalimat yang berbeda-beda. Sheren semakin menundukkan kepala, rasanya kepala itu ingin terlepas dari leher. Begitu takut, malu, dan berbagai rasa yang sulit ia ungkapkan. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasa, entah sebab takut atau sebab yang lain, ia benar-benar tak mengerti dengan semua ini.

"Fotoin kita dulu," ucap pria itu dengan menyerahkan ponselnya pada seorang teman pria yang ikut duduk di sana.

"Kamu jangan nunduk gitu, senyum ya." Ia melingkarkan tangan kirinya pada bahu Sheren yang kecil, menyebabkan aroma tubuhnya yang khas dapat tercium oleh Sheren.

Sheren tak menjawab, ia tersenyum penuh paksaan, hanya sebab takut dihukum jika tak mengikuti perkataan para senior. Ia merasa risih dengan tangan yang hingga sekarang masih mendiami bahunya, terasa berat dan membuatnya kesal.

"Coba lihat papan namamu." Salah seorang senior wanita membaca papan nama yang sedari tadi menggantung di lehernya.

"Sheren Dandelina, status single, cocok nih buatmu!" Ucapnya sedikit berteriak sambil menepuk bahu pria di sebelah Sheren.

"cocok! Hahaha, kenapa nunduk gitu sih? Kamu masih nggak percaya kita cocok?" Sheren tak menjawab, menyebabkan pria yang tidak dikenal Sheren itu kembali memaksanya untuk pergi ke kumpulan senior lain. Namun, keinginan itu tak berjalan lancar sebab ada dua orang junior pria yang tanpa sengaja menabrak tubuh si pria. Ia lekas melepaskan tangan Sheren dari genggamannya, mulai berkacak pinggang dan ingin menghukum dua orang junior di hadapannya. Saat seperti ini dimanfaatkan Sheren untuk melangkah mundur perlahan-lahan, pergi sejauh mungkin dari sisi pria yang sama sekali tak ia kenal namanya.

Sheren berjalan cepat dengan kepala yang masih menghadap ke belakang, untuk mengukur sudah berapa jauh jarak antara ia dengan pria yang hampir membuatnya mati gila itu. Ingin keluar dari lubang buaya darat, Sheren malah masuk dalam perangkap gerombolan srigala. Tiga orang senior pria menghadang jalannya, membuat Sheren terhenti dan menundukkan kepala.

Dandelion Dalam SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang