Satu

90 10 5
                                    

Hari pertama masuk sekolah membuat gadis bertubuh gempal itu kewalahan. Pasalnya, bisa-bisanya ia telat bangun bahkan tidak sempat untuk sarapan. Ia sibuk mengepang dua rambutnya, memasukkan makanan-makanan bernama aneh ke dalam karung yang telah disulap menjadi tas, juga meminta ayahnya agar tak melupakan dua balon berwarna merah putih yang sudah dibelinya semalam.

"Kamu yakin gak sarapan? Kalau pingsan pas upacara gimana?"

"Nggak, Bu, udah gak sempat. Sekar jalan ya, Bu!"

Gadis bernama Sekar itu langsung naik ke jok belakang motor yang sudah siap tancap gas. Ibunya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak semata wayangnya yang ternyata sudah tumbuh menjadi gadis remaja.

"Ayah, kira-kira Sekar bakal punya temen gak ya di SMA? Apa nasib Sekar akan sama kayak dulu?"

Sekar terhanyut dalam lamunannya, menyisakan rasa sedih di hati ayahnya. Mana ada ayah yang terima jika anaknya diperlakukan tak baik oleh teman sebayanya?

Ternyata yang Sekar risaukan bukan hanya masalah telat di hari pertama, tetapi ia takut kejadian-kejadian buruk di masa lalu itu kembali terulang saat dia bahkan sudah menginjak usia lima belas tahun.

Mereka saling sibuk dengan pemikiran masing-masing sampai akhirnya tiba di depan gerbang sekolah yang sudah setengah ditutup.

"Aduh, Dik, baru hari pertama jadi siswa baru sudah telat," sapa satpam yang sebenarnya tak terlihat seperti menyapa. Justru, nadanya hanya terdengar seperti sarkasme yang cukup membuat Sekar gentar.

Sadar bahwa anaknya sedikit gugup, Dani menjawab, "Iya nih, Pak. Tadi harus nunggu saya ke kamar mandi dulu, biasa panggilan alam." Dani memberikan cengir kuda yang dibalas anggukan malas oleh satpam.

Sekar berani bersumpah, jika satpam tersebut tak lebih tua darinya, ia akan menggetok kepalanya menggunakan tas karung yang cukup berisi itu.

Sesuai peraturan, siswa yang telat akan ditahan di depan gerbang sampai upacara selesai. Jadilah Sekar menunggu di sana bersama beberapa siswa yang telat jua. Hal itu cukup membuatnya bisa bernapas lega karena ia tak sendirian.

Dani --ayah Sekar-- sudah meninggalkan Sekar setelah perkara cengir kuda bersama satpam nyebelin yang masih setia memasang wajah masamnya.

"Ha-halo! Kamu telat juga, ya?" Sekar menelan salivanya. Ia mengutuk dirinya sendiri karena sangat berani untuk menyapa siswi lain yang ada di sampingnya.

Pasalnya, siswi itu bertampang garang. Jangankan mengalihkan pandangannya pada Sekar, siswi itu langsung berpindah tempat menjauhi Sekar saat ia mendapat pertanyaan basa-basi yang cukup menjengkelkan.

Sudah jelas mereka berdua sama-sama ada di depan gerbang, bukankah artinya kalau cewek itu juga telat?

Sekar menundukkan kepalanya, mencoba memejamkan mata dan berharap ia dapat mempunyai kekuatan menghilang dalam sekejap. Ia harusnya cukup sadar diri untuk tidak terlalu sok kenal pada orang yang baru ditemuinya. Apalagi dengan perawakan yang jauh dari kata 'body goals' seharusnya ia bisa untuk menahan sifat keramah-tamahannya.

Bukankah fisik telah menjadi prioritas utama sekarang?

Guna menghilangkan rasa jenuh, Sekar mencoba bermain dengan dua balon yang sedang ia genggam. Tas karungnya itu ia sandarkan pada gerbang sekolah, dan ia mulai menerbangkan kedua balon gas lalu segera menangkapnya jika balon itu mulai bergerak jauh.

Ia tak tahu kalau ia telah menjadi sorotan sekarang. Bahkan, wanita berparas ganas yang tadinya sama sekali tak melihat ke arah Sekar kini ikut memperhatikannya.

Jangan lupakan satpam berwajah masam yang masih berada di posnya. Ia juga ikut memandang ke arah Sekar tanpa kedip.

"Lucu banget, ya, liat balon lagi ngejar-ngejar balon."

"Ha-ha-ha, iya, bener banget!"

Langkah Sekar terhenti begitu saja. Ia melihat ke belakang, baru sadar ternyata para siswa yang telat juga satpam ikut menertawakan lelucon yang sangat menyakitkan itu.

"Loh? Dia ngerasa kalo lagi diomongin?"

Sekar terdiam saat perempuan yang tadi disapanya ikut berkomentar. Ia akhirnya kembali ke tempat semula, menghampiri tas karung yang masih tersandar di depan gerbang. Ia tersenyum girang sambil melihat ke bawah, membuat orang-orang di sekitarnya menatap aneh dan akhirnya kembali sibuk dengan obrolan masing-masing.

Ternyata, di SMA pun sama aja. Aku memang cocok menjadi bulan-bulanan siapapun. Sekar membatin, sembari terus tersenyum lebar.

Mereka tak tahu, senyum lebar itu hanya digunakan Sekar untuk menahan air mata yang ingin turun itu. Ia menggunakan pipi bulatnya untuk memblokade jalan keluar air mata tersebut.

"Aduh!"

Sekar mengaduh saat tubuhnya itu terseret ke samping sampai jatuh ke atas aspal. Ternyata gerbang telah dibuka dan membuatnya ikut terseret karena tubuhnya menempel di sana.

"Lo gak apa-apa?" tanya seorang lelaki yang mengulurkan tangannya untuk membantu Sekar berdiri.

Sekar terdiam melihat uluran tangan itu, kemudian mencoba mengabaikannya dan berdiri dengan bantuan dirinya sendiri. Sekar langsung membersihkan seragamnya yang sedikit kotor dan membuat lelaki yang menolongnya tadi memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung celana karena merasa gengsi.

Di depan gerbang, sudah berkumpul beberapa anggota OSIS yang siap memberi hukuman pada siswa baru yang telat. Sebelum masuk gerbang, OSIS melakukan inspeksi kelengkapan peralatan mabis hingga busana yang harus dikenakan.

Sekar berjalan dengan langkah yang ringan sembari menunggu dirinya untuk diperiksa. Pasalnya ia cukup yakin tidak ada satupun yang kurang. Gesper tali rapia, pita di rambut, name tag, kaos kaki sebelah hitam sebelah kuning, sampai akhirnya ia menyadari ....

"Ya ampun balon yang tadi terbang!" Sekar berlari ke arah tempat di mana ia melepaskan balonnya. Ia melihat ke langit, sama sekali sudah tak ada jejak balon itu.

Aku sangat sial. Sekar benar-benar merutuk diri sendiri yang sangat ceroboh di hari pertama. Ia yakin, kisah di SMA-nya tidaklah akan menyenangkan seperti apa yang sering dielu-elukan oleh anak yang lain.


Bersambung ...

Dia Sekala [HIATUS] ❌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang