Dua

49 8 0
                                    

Hosh. Hosh. Hosh.

Perempuan bertubuh gempal itu berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Gumpalan lemak di perutnya itu lumayan membuat ia sesak napas. Pasalnya dari tadi ia lari-larian entah mengejar balon terbang, ataupun menjalankan hukuman dari para kaka panitia mabis.

"Kak! Saya izin menggunakan inhaler boleh? Saya mulai sesak," ucap Sekar yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Langkah kakinya semakin melambat, membuat ia tertinggal dari peserta lainnya yang juga dihukum karena telat.

"Stop! Kamu boleh minggir dari barisan," ucap kaka panitia bernama Rendi  yang diketahui adalah ketua OSIS.

Sekar langsung menepi. Ia buru-buru mengambil inhaler yang sudah disiapkan di kantung roknya.

"Lo ada asma?"

Sekar mengangguk sambil tetap menghirup obatnya.

"Sesek banget, ya?"

Lagi-lagi Sekar hanya mengangguk.

"Lo duduk di sini aja dulu, gue beli minum sebentar."

Sekar menoleh heran pada laki-laki yang baru saja tergesa-gesa meninggalkannya. Mengapa panitia itu sangat perhatian padanya?

Hatinya menghangat, ternyata masih ada orang baik yang hadir di masa putih abu-abunya. Setidaknya, ia tak hanya bertemu teman satu angkatan yang sudah mengejeknya di hari pertama masuk sekolah. Setidaknya juga, ia tak hanya bertemu dengan satpam menjengkelkan yang ikut menertawakannya di depan gerbang sekolah.

"Nih, teh hangat. Kata Bude sih bisa bikin napas lebih teratur," ucap panitia tersebut kemudian ikut duduk di sebelah Sekar.

Sekar menerimanya sambil tersenyum kecil. "Bude? Siapa?"

"Ibu kantin," jawabnya singkat sambil memandang ke arah adik kelas yang masih menjalani hukuman.

Sekar meminum teh itu perlahan. "Eum, makasih, Kak ...."

"Alan, kelas sebelas IPA satu."

"Oh, iya, Kak Alan."

Kemudian hening. Mereka masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Alan yang masih memandangi keadaan lapangan di depannya, dan Sekar tengah menyesap teh manis hangat itu sampai habis.

"Lo sering jadi korban bullying, ya?"

"Uhuk!" Sekar tersedak, membuat Alan spontan menoleh padanya.

"Gak usah dijawab kalo gak mau dijawab. Kalo udah enakan, lo bisa gabung lagi ke sana. Liat tuh temen seangkatan lo pada natap iri. Bisa-bisa lo di-bully lagi."

Alan langsung bangkit dari duduknya, namun tangan Sekar mencegah kepergiannya.

"Eh, maaf, Kak. Ini harga tehnya berapa? Belum saya bayar."

Alan tertawa melihat tingkah polos Sekar yang begitu natural tanpa dibuat-buat. "Gratis buat lo."

Kemudian Alan pergi, meninggalkan gadis gempal berkacamata yang sedang mencubit keras pipi chubby-nya.

Sekar menyimpan kembali inhaler ke dalam sakunya dan membuang sampah teh hangat ke tempatnya. Rasa sesak di dadanya itu tergantikan dengan bunga-bunga yang seakan tengah bermekaran. Ia berlari kecil ke lapangan bahkan sambil bersenandung kecil saking bahagianya.

"Udah mojoknya?"

"Eh? M-maaf, Kak. Tadi saya hanya menunggu sampai sesak saya hilang. Sekarang saya sudah bisa menjalankan hukuman lagi, Kak."

Dia Sekala [HIATUS] ❌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang