Empat

33 7 1
                                    

Sekar tengah berdiri di depan jendela kamarnya, menikmati belaian angin malam yang siap menusuk lapisan kulitnya. Kamar yang berada di lantai dua itu membuat Sekar bisa melihat ke arah sekitaran rumahnya. Ada rumah tetangga, pohon depan rumah, bahkan pos ronda di ujung gang terlihat dari sana.

Sekar memindai keadaan sekitar, di mana ia merasa sangat tenang karena berada jauh dari keramaian. Kejadian yang telah menimpanya di siang itu mampu membuat Sekar berpikir dua kali untuk berangkat ke mabis terakhir esok hari.

Suara ketukan dari pintu kamar membuat Sekar menoleh, lalu mendapati ibunya yang tengah melongok sambil tersenyum tipis. "Ibu boleh masuk?"

Sekar mengangguk, kemudian ia berbalik dan duduk di tepi ranjang, disusul oleh sang ibu yang bergegas masuk ketika mendapat izin dari anaknya.

"Kenapa, Bu?" tanya Sekar ketika ibunya itu hanya diam tanpa kata, tetapi tangannya sibuk membelai halus kepala putrinya.

Reina, ibu Sekar, menatap anaknya dengan sorot mata yang dalam. Membuat sang anak merasa tak nyaman karena ia tahu bahwa ia tak akan bisa mengelak jika sang ibu menanyakan sesuatu hal.

"Kamu gak apa-apa?"

Satu kalimat pertanyaan yang membuat Sekar terjatuh dalam pelukan Reina. Menangis meraung-raung karena merasa hancur dan tak sanggup untuk terus menahannya.

Reina ikut hancur, bersama dengan sang anak yang terus menjerit di pundaknya. Ia tahu persis, bagaimana sang anak selalu mendapatkan perlakuan yang tak baik dari orang-orang seusianya.

"Mau pindah sekolah lagi, Nak? Ayo, Ibu bantu cari sekolah yang bisa nerima anak Ibu yang cantik ini. Atau kamu mau home schooling aja? Biar bisa Ibu temani juga?"

Namun, Sekar masih menangis dalam pelukan Reina. Berharap segala perasaan sakit yang telah ia pendam dari masa putih biru itu dapat meluruh bersama segala air matanya.

Sekar telah mengalami perundungan sejak ia masih di jenjang SMP, membuat anak bertubuh gempal itu selalu pulang dalam keadaan menangis dan luka di salah satu bagian tubuhnya.

Lalu, orang tua Sekar diam saja?

Jelas tidak. Mereka selalu berusaha untuk menebus segala kesakitan yang dialami oleh anak semata wayang mereka.

Namun, setelah beberapa bulan, Reina dan Dani tak bisa melakukannya lagi karena kemauan sang anak. Dengan asalan, perlakuan orang tuanya itu akan membuat Sekar lebih tersiksa karena cemoohan teman-temannya. Anak papa mama, anak manja, cengeng, cupu, semuanya dijadikan bahan ejekan pada Sekar. Membuat Sekar terbiasa untuk diam, tak minat memberi tahu kejadian apa lagi yang telah menimpanya pada Reina dan Dani.

Kekerasan verbal dan fisik selalu didapatkan Sekar, walau ia mengakui bahwa kondisi tubuh ia tak separah siswa lain yang mungkin juga merupakan korban bullying. Setidaknya Sekar cukup bersyukur akan hal itu, dan selalu membuat ia merasa baik-baik saja dengan menampilkan senyuman selebar mungkin.

Nyatanya, hal itu cukup menguatkannya hingga ia bisa lulus dari sana. Tiga tahun bertahan dalam sekolah yang rasanya seperti neraka dunia, tanpa ada niat untuk menyerah juga pindah dari sana.

Namun, malam itu, Sekar kembali pada titik terendahnya. Membuat Sekar tersadar, bahwa luka di masa lalu itu masih ada. Sekar baik-baik saja, ternyata hanya sebuah anggapan. Sebuah mindset yang terus ditanamkan di pikiran Sekar.

Di siang hari itu, Sekar seperti terlempar pada kejadian dua tahun silam di mana ia mendapatkan perlakuan keji dari kakak kelasnya. Dan kali itu, Salsa, melakukannya. Mendorong Sekar ke dalam toilet siswi yang telah sepi karena acara mabis di hari kedua telah berakhir. Mendorongnya hingga membentur dinding dingin di sana, melepaskan secara paksa kacamata Sekar, menjambak rambutnya yang masih dalam bentuk kepangan, lalu menyuapi Sekar dengan bakso berukuran besar yang masih panas.

Salsa tertawa sinis melihat Sekar yang kelojotan karena bakso yang memenuhi mulutnya. Lidah Sekar seakan mati rasa karena bakso itu sangat panas dan menyetrum rongga-rongga mulutnya.

"Udah gue bilang jangan deketin Alan, lo budeg?"

Sekar menggeleng pelan setelah berhasil menelan bakso itu dengan susah payah. Air matanya terus menetes, kepalanya menunduk karena sangat takut untuk menatap Salsa yang tengah berjongkok di hadapannya.

"Kalo gak budeg, kenapa masih aja kegatelan? Lo nganggep remeh gue? Iya?!" Salsa mengangkat dagu Sekar ke atas, lalu menekan pipi gembil milik Sekar sehingga Sekar agak sulit bernapas karena hidungnya tertekan.

"Kalo orang lagi ngomong tuh diliat, Idiot!" Dua kali sudah Salsa memanggil Sekar dengan sebutan yang tak etis itu, membuat telinga Sekar ikut menajam karena panggilan baru itu.

"Mm-m-maaf, Kak."

"Hah? Maaf? Setelah lo buat Alan ilfeel sama gue, setelah Alan makin jauhin gue, setelah Alan nganggep gue gak ada, lo minta maaf?"

Sekar memejamkan matanya, ia merasa semakin kesulitan bernapas. Sial, mengapa asmanya itu harus kambuh di saat seperti itu?

Salsa spontan melepaskan cengkraman tangannya pada pipi Sekar ketika melihat Sekar mulai megap-megap, lalu melonggarkan jaraknya yang membuat Sekar langsung buru-buru merogoh tas karungnya. Sekar kalang kabut, ia bahkan langsung menumpahkan segala isi yang ada di dalam tas itu karena tak melihat benda berwarna hijau yang selalu menjadi penyelamatnya.

"Lo nyari ini?"

Sekar mengangkat wajahnya, melihat Salsa yang memasang smirk itu sedang memegang benda yang sedang Sekar butuhkan.

"Nih, ambil!"

Sekar membulatkan matanya saat Salsa membuka salah satu pintu kamar mandi, lalu melempar benda keramat milik Sekar ke dalam kloset.

Lalu, dengan langkah ringannya, Salsa meninggalkan Sekar yang langsung berlari mengambil inhaler yang sedang mengambang di dalam kloset.

Tanpa pikir panjang, Sekar langsung mencuci benda tersebut sampai bersih, menutup hidungnya, lalu menghisap benda tersebut sampai oksigen kembali memenuhi paru-parunya.

Ia terjatuh dengan dramatis setelah itu, melempar inhaler-nya ke dalam tempat sampah, memasukkan dengan asal barang-barang ke dalam tas karungnya, kemudian berlari dengan harapan cepat sampai rumah.

Nyatanya, kejadian itu adalah yang paling buruk dari semua kejadian yang pernah Sekar alami. Membuat ia masih terus memeluk ibunya, menumpahkan segala rasa lelah batin juga fisik yang membuatnya ingin menyerah.

"Bu, sebenarnya apa salah Sekar?"

Reina diam tak bisa menjawab. Ia hanya terus mengelus punggung putri kesayangannya, sambil terus meminta maaf dalam hati karena lagi-lagi tak bisa melindungi anaknya sendiri.

Bersambung ....

Dia Sekala [HIATUS] ❌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang