Delapan

37 7 1
                                    

"Aku gak mikir sejauh itu. Aku harus gimana sekarang? Aku bener-bener gak becus jadi Ayah. Aku gak becus. Aku gak becus!"

Reina memeluk suaminya yang sedang kalang kabut. Bukan sekali dua kali Dani berada di posisi itu. Reina, satu-satunya orang yang ditampakkan keadaan menyedihkan suaminya itu. Pasal Dani yang lembut dan suka melawak itu hanyalah kedok di depan Sekar. Padahal di balik itu semua, Dani pernah hampir kalut untuk menghabisi anak SMP yang sudah melukai Sekar.

"Awalnya aku juga gak berpikir sampai situ, Mas. Aku malah mendukung kemauan kamu untuk nganter Sekar sampai depan kelasnya agar dia aman. Tapi saat sarapan tadi, Sekar yang bilang sendiri bahwa itu bisa jadi bahan cacian teman-temannya. Dan aku sadar, itu sangat mungkin untuk terjadi. Makanya aku langsung hubungin kamu, Mas."

Dani semakin menangis di pelukan Reina. Ya, ayah yang tegar dan selalu tersenyum riang di depan Sekar itu tengah menangis. Ia berharap dapat sekuat Sekar, tapi lagi-lagi ia kembali menjadi orang lemah yang selalu menyalahkan keadaan. Dani yang selalu berandai masih berjaya, Dani yang yakin bahwa ia bisa membeli semuanya dengan uang termasuk keamanan Sekar, jadi seakan tak punya jalan keluar lain ketika ia sudah tak lagi kaya.

Pikir Dani, semua masalah itu akan selesai dengan uang. Bukan tanpa alasan Dani berpikir seperti itu karena dari awal ia telah dan pernah merasakannya. Saat dulu ia masih kaya raya, tak ada yang tak mungkin baginya. Dengan mudahnya ia menjanjikan anak-anak yang mau berteman dengan Sekar dengan iming-iming uang jajan setiap harinya, membuat anak-anak polos nan lugu itu menjadi gencar mengajak Sekar bermain dan membuat Sekar tertawa sepanjang harinya.

Baju Reina telah basah dengan air mata Dani. Merasa de javu karena di hari sebelumnya, air mata Sekar yang membasahi bajunya. Reina hanya bisa menepuk pelan punggung Dani dengan tempo pelan yang menenangkan, persis seperti apa yang ia lakukan pada Sekar. Reina, seakan menjadi tiang bagi suami dan anaknya. Dan ia harus kokoh, tak boleh ikut roboh lalu kemudian hancur bersama dengan kedua orang yang disayanginya. Reina tahu betul bahwa sifat ayah dan anak itu serupa, yaitu sama-sama bersikap sok tegar dan ceria di hadapan banyak orang. Padahal di balik itu semua, mereka menyimpan sejuta kesakitan juga air mata yang siap meluncur kapan saja.

Reina tak tahu, apa yang membuat orang-orang begitu ingin menyudutkan Sekar, menghinanya, membuatnya menangis, dan lain sebagainya.
Bagi Reina, Sekar tak serendah itu. Sekar tak seburuk itu. Oh, bahkan, Sekar sama sekali tak jelek seperti yang dibilang orang kebanyakan. Sekar memang gemuk, lalu gayanya seperti anak pintar kutu buku yang membuatnya terlihat seperti anak baik-baik. Lalu, apa yang salah dengan itu semua?

Keadaan ekonomi keluarga mereka pun tak serendah itu hingga Sekar harus mendapat bullying karena lahir dari keluarga miskin. Sekar masih bisa sekolah, bahkan tiap bulan orang tuanya membayar SPP pada sekolah, tetapi mengapa Sekar direndahkan seakan-akan ia hanyalah seonggok daging tak berperasaan yang hanya bisa diinjak-injak oleh teman-temannya?

Reina lagi-lagi menangis pelan, kemudian dengan segera ia mengusap air matanya sebelum Dani melepas pelukannya. Ya, Reina berjanji untuk kuat di hadapan kedua malaikat hidupnya. Selain Reina, siapa lagi yang akan menjadi kuat?

Tanpa Reina tahu, bahwa sebenarnya pemikiran seperti itu bukan hanya ada dalam benak Reina.

Dani, Sekar, mereka juga mempunyai pemikiran itu. Di mana mereka berusaha untuk menjadi tegar, tetapi ketika telah melewati batas wajar, mereka memilih tumbang dalam pelukan Reina.

Mungkin itu perbedaannya.

Sedangkan Reina, ia tak ada pilihan lain selain terus kuat. Ia tak mungkin tumbang dalam pelukannya sendiri.

"Kamu itu Ayah yang hebat, Mas. Aku yakin Sekar sangat sayang dan bangga sama kamu. Kamu itu pahlawan buat dia, juga buat aku. Jangan menyerah, jangan merasa kalah, ya? Sekar sudah berjuang setiap harinya, kita gak mungkin kalah dari anak sendiri, kan?"

Dani melepaskan pelukannya, kemudian menatap dalam ke arah istrinya dengan mata yang berkaca-kaca. Tangan kanannya bergerak ke atas kepala Reina, membelai halus rambutnya sambil tersenyum bangga. "Aku beruntung karena memilih kamu untuk menjadi istriku juga menjadi ibu dari anakku. Sekar juga pasti merasakan hal yang sama, Rein."

Di saat-saat yang sulit, memang dukungan serta kata-kata manis menyentuh hati yang dapat menguatkan kembali. Saling berpegang tangan kemudian menatap ke depan, seakan tahu bahwa kebahagiaan telah menunggu di sana. Tersenyum sambil terus berjalan tanpa melihat hari-hari buruk di belakang adalah satu-satunya langkah tepat yang dapat dilakukan oleh keluarga Sekar, sementara.

Bersambung ...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dia Sekala [HIATUS] ❌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang