[004] sapa

25 4 2
                                    

“Kita terikat, terjalin, tersusun. Tanpa ruang dan sekat, tanpa tiga dan empat”

Neysa Elysia


Happy reading, guys🌧
.
.

Neysa berjalan tanpa arah, berjalan lurus mengikuti jalanan. Ia lupa kalau mobilnya tadi masih di bengkel, dan dengan terpaksa dia berjalan menuju halte bus untuk menaiki bus menuju rumahnya.

Sempat meminta tumpangan pada Manda, sayangnya gadis itu harus segera pulang karena ada suatu hal yang penting katanya, mau gimana lagi, gak mungkin dia maksa Manda untuk mengantarnya pulang.

Ojek online? Neysa gak punya aplikasinya, dan detik itu juga ia merutuki dirinya sendiri, bisa bisanya dia yang jelas sudah pindah ke Jakarta, tapi tidak menginstal aplikasi terpenting itu.

Halte bus memang gak begitu jauh, kira-kira 400-500 meter dari sekolahannya, butuh waktu 8-10 menit untuk tiba di halte tersebut.

Tapi, yang bikin lama itu bukan jalan ke halte, melainkan menunggu trip bus yang akan dinaiki, belum lagi ini jam nya orang pulang dari sekolahan, pasti rame banget, macet nya, trus desak-desakkan dalam bus, membayangkan itu semua aja otak rasanya udah sesek.

Lagi pula, gak ada pilihan lain, daripada harus berjalan dari sekolahan ke rumahnya, bisa-bisa malam nyampe nya.
Udah sekitar 5 menit Neysa menunggu trip bus ke halte dekat rumahnya, dan hingga kini bus itu tak kunjung datang, hanya satu yang bisa Neysa lakukan, apa lagi kalau bukan ‘meningkatkan kesabarannya’.

Sedang asik memutar Playlist music  dalam handphone nya, tiba-tiba saja ada yang menarik lengan gadis itu, tanpa aba-aba Neysa langsung menoleh kearah samping dan menyiapkan sebelah tangannya untuk memukul seseorang yang menarik lengannya itu.

“Gilak lo, bisa bonyok muka gue!” teriak Idham yang langsung menahan tangan Neysa yang hampir mengenai mukanya itu.

“Lo gila! Bisa bisanya ngagetin orang, harus nya tadi gue berhasil mukul lo!” timpal Neysa tak kalah emosi.

“YA ALLAH, bidadari ku kalau marah nambah cakep,” sambil terkekeh lelaki itu melepas genggamannya yang tadi menarik lengan Neysa. “Lo gak balik?” lanjutnya.

“Wujud gue masih utuh disini!” sinis Neysa.

“Anjir, gue kira arwah lo, hahahahaha,” emang rada gak waras, dikit-dikit receh, dikit-dikit emosi. Neysa yang mendengar ucapan Idham pun hanya menoleh sebentar, lalu memalingkan pandangannya sinis kearah lain.

Selang beberapa menit, bus dengan tujuan halte ke arah rumah Neysa akhirnya tiba juga, saat Neysa melangkah menaiki bus, tiba-tiba Idham menahan lengannya.

“Lo balik bareng gue aja,” ucapnya.

YA TUHAN! INI COWO GOBLOK ATAU GIMANA, KALAU MAU NGAJAK BARENG YA DARI TADI DONG, PEGEL NIH NUNGGU BUS! Makinya dalam hati.

“Setan! Dari tadi kek, pegel nih gue, tau ah gue bareng bus aja,” balas Neysa, namun tetap di tahan oleh Idham.

“Gue mau ngomong sesuatu ke elo,” ucapnya lagi.
Mau tak mau Neysa menuruti perkataan Idham, memang sedikit kesal, tapi Idham mau ngomong sesuatu dan dengan ia ikut Idham, dirinya tak perlu desak-desakan didalam bus, kan?
.
.
.
.
.
.
.
.

Petrichor (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang