"Aku lisankan dalam doa atas apa yang kurindukan"
.
.
.
.
Langkah tenang dan senyum manis yang selalu menghiasi wajah tampan yang Asna rindukan, kini ia lihat kembali selama tiga tahun ia bertemankan sepinya malam dan kelamnya rindu. Meski langkah pria itu tidak mengarah padanya dan senyum manis yang tak ditunjukkan bukan untuknya, Asna bersyukur pada sang khaliq, sebab ia dapat melihat apa yang dirindukannya baik-baik saja selama ini.
Menetralkan rindu. Dapat dikatakan seperti itu. Menetralkan rasa. Mungkin. Sebab ada seribu satu campuran toxic dalan perasaan yang dirasa oleh Asna.
Dinginnya sifat pria itu terhadapnya, tidak membuat perasaan Asna luntur atau hilang namun dengan nakalnya perasaan itu justru bertambah setiap melihat senyum manis yang menjadi candu dalam dinginnya malam yang ia selami dengan rentetan kalam Illahi Rabbi. Mengadu dengan manja lewat syair indah yang terucap, berharap penghuni langit meng-aamiin-kan dan Pencipta semesta mengijabah setiap aamiin yang terucap setelah harapan yang tersandarkan olehnya pada-Nya.
Selama tiga tahun pula diri yang tak terucap, rahasia tertutup senyum, mata berbinar seolah tak ada pesakitan dalam diri, menjadi objek jaminan selalu bahagia dimata semesta tapi tidak dengan hatinya.
Sesak, hancur, jatuh, remuk!! Cukup diri yang ringkih menyimpan luka yang amat lara dalam tetes demi tetes hujan.
Bebisik, pada bumi bahwa dia rindu padanya. Rindu senyum yang terbit dengan tulus, rindu percakapan panjang disepinya malam, rindu dan rindu!! Hanya rindu, tentang rindu, segala hujan rindu.
.
.
"Kenapa tidak mengabariku dulu sebelum pulang, hmm?" Kesal gadis itu
"Saya ingin membuat kejutan untukmu bidadari surganya saya" dengan nada menggoda dan cubitan pada hidung bengir gadisnya itu yang entah sejak kapan menjadi candunya
"Sebelum menuju kesini apa tidak bisa kirim pesan hanya berapa penggal kata mas? Jadi aku bisa menyiapkan makanan untukmu, dasar!!" Kesalnya, dengan wajah semerah tomat yang tak dapat disembunyikan sebab malu dengan godaan pria yang ia cinta.
.
.
Cuplikan peristiwa masalau terus berkutat pada memori ingatan Asna. Seberapa luka dan rindu yang menghujam hati bertubi-tubi, menghancurkan hingga remuk tak berbentuk bagai kepingan kaca yang membuat luka. Luka yang semakin menganga lebar. Perih!! Luka lama yang tak kunjung kering kini bak tersiram air garam, memori indah yang berputar tanpa diinginkan pemikir menjadi toxic.
Berpaling muka lalu pergi dari tempat dimana senyum yang dilihat menjadi bubuk penambah luka adalah jalan terbaik? Mungkin jawabanya adalah "iya". Tapi, keegoisan rindu menjadi pemenang melawan kata "iya" pada jawaban sebelumya. Bagaimana dengan kegusaran hati? Entahlah!
Biarkan darah mengalir mengangkut rindu yang lara bersamaan langkah yang kian menjauh menambah luka.
_.._
Aku rindu dear:)
Dah gitu aja ya :D
KAMU SEDANG MEMBACA
RASNAN
General FictionSemesta terlalu senang mempermainkan takdir Asna ~Author~ Kelanjutan cerita didukung mood :v Hak cipta dilindungi Allah swt.