Satu

6 2 0
                                    

Tami mendongakkan kepalanya, menatap tetesan air hujan yang mengalir dari atap halte bus tempatnya berteduh. Ia merapatkan badannya ke dinding halte dan mengeratkan pegangan tangannya yang memegang beberapa buku tebal. Berusaha untuk meminimalisir air hujan yang akan mengenai tubuhnya. Ia menghela nafasnya. Ia sendirian di sana, menyesal karena tidak membawa payung. Sementara ia pun tahu kalau awan gelap telah setia menggantung di langit sedari pagi.

Tami mengambil HP-nya yang bergetar didalam saku jas nya. Fisha. Nama itu tertera di layar HP-nya. Segera ia menekan tombol hijau untuk mengangkat telfon itu.

“Halo. Fishaaa!” pekiknya.

“Astagfirullah. Assalamu’alaikum, Tami. Salam dulu!” jawab suara di seberang telefon itu.

“Wa’alaikumussalam. Sorry. Kamu dimana?” tanya Tami.

“Bentar lagi sampai, kok. Aku pakai mobil Deon.”

“Oke. Aku udah liat mobilnya!” ujar Tami. Ia melambaikan tangannya ketika matanya melihat mobil Jazz hitam milik kakaknya, Deon. Ia langsung berlari dan membuka pintu mobil itu tepat saat mobil itu berhenti di depannya. Mendapati gadis yang tersenyum melihatnya di belakang kemudi mobil.

“Makasih ya, Fis. Aku tertolong banget.” Ucap Tami.

“Sama-sama.” Jawab gadis yang dipanggil Fisha tersebut. Fisha langsung menjalankan mobilnya dan membawa Tami pulang.

Fisha adalah sepupu sekaligus orang terdekat Tami. Mereka seumuran dan selalu sekolah di sekolah yang sama. Namun, ketika kuliah mereka memilih kampus yang berbeda sehingga mereka tidak bisa bertemu sesering dulu. Karena mereka sudah bersama sejak kecil, mereka bisa saling memahami satu sama lain. Bahkan soal perasaan sekalipun.

“Mas Deon nggak kerja, Fis?” tanya Tami.

“Dia bilang pulang cepat, jadi mobilnya bisa aku pinjam.” Jawab Fisha. “Kamu mau mampir dulu nggak?”

“Nggak, deh. Langsung pulang aja.” Jawan Tami.

“Oke.”

Sesampainya di rumah, hujan sudah tidak terlalu deras. Tami dan Fisha masuk ke dalam rumah dan melihat ayah Tami dan Deon duduk di ruang tamu.

“Assalamu,alaikum,” ucap Tami dan Fisha bersamaan. Mereka menyalami ayah dan Deon bergantian.

“Wa’alaikumussalam,” sahut ayah Tami dan Deon.

“Dek, tadi ada teman kamu yang nyariin.” Ujar Deon.

“Siapa, mas?” tanya Tami.

“Mas nggak tanya namanya. Mas suruh tunggu di ruang tengah.” Jawab Deon.

“Oke.”

Tami langsung menuju ruang tengah. Fisha tidak ikut dengannya dan memilih untuk mengobrol dengan Deon. Sesekali mereka melirik ke arah Tami dan temannya. Mereka tahu kalau itu adalah teman-teman kuliahnya. Beberapa hari yang lalu Tami memberi tahu Fisha kalau kampusnya akan mengadakan pameran lukisan dari sanggar fakultasnya. Jadi dia sedang dalam masa sibuk untuk mempersiapkan pameran itu.

Tami mengambil jurusan sesuai dengan bakatnya, seni rupa. Berbanding terbalik dengan Fisha yang lebih memilih jurusan Matematika. Dan Deon sendiri sudah bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan swasta.

***

Tami berjalan tergesa di koridor kampusnya. Hari ini ia akan menghadiri rapat gabungan dengan jurusan seni rupa dari kampus lain. Keringatnya mengintip dari balik rambut yang menutupi pelipisnya. Ia sampai dengan nafas sedikit terengah di ruang jurusannya. Ia langsung duduk di samping salah satu temannya. Temannya tersenyum ketika mendapati Tami duduk disampingnya.

“Buru-buru banget, Mi.” Ujarnya. Tami hanya mengangguk sambil mengatur nafasnya. Ia meneguk air mineral yang selalu dibawanya.

“Aku agak nervous, nih, By.” Ujar Tami. Temannya, Aby, tertawa kecil mendengar ucapan Tami.

“Bukan kamu yang bakalan maju ke depan, kok, Mi. Kenapa kamu yang nervous?”

“Nanti kalau mereka ga setuju sama konsep kita gimana? Terus kalau-“

“Sst. Beda pendapat itu, kan, biasa, Mi. Nanti pasti ketemu solusinya kok.”

Tami hanya menipiskan bibirnya menanggapi perkataan Aby. Ya, dia tidak bisa menyangkalnya karena ia pun tahu kalau yang dikatakan Aby benar adanya. Kemudian ia menyapa beberapa seniornya yang masuk ke dalam ruangan.Rapat mengenai pameran berlangsung selama 2 jam. Memang ada beberapa perbedaan pendapat, dan belum bisa mencapai hasil akhirnya. Namun, rapat tersebut bisa dikatakan lancar.

Tami menyimak jalannya rapat dengan seksama. Hingga ia tidak menyadari ada sepasang mata yang terus memperhatikannya sejak rapat dimulai. Sepasang mata itu milik seorang pemuda yang duduk tidak jauh dari tempat Tami duduk. Ketika rapat selesai, mata mereka tidak sengaja berpapasan, dan pemuda itu langsung mengalihkan pandangannya. Namun, Tami tidak terlalu memperhatikan hal itu. Ia memasukkan bukunya kedalam tas dan bersiap untuk keluar dari ruangan.belum sempat Tami melangkahkan kakinya, seniornya menghampiri dan memanggilnya, bersama pemuda tadi.

“Tami.” Panggil seniornya. Tami menoleh dan tersenyum.

“Iya, kak Nuri.” Jawab Tami. Pemuda di samping Orang yang dipanggilnya kak Nuri itu menatapnya tanpa ekspresi.

“Kamu mau langsung pulang?” tanya Nuri. Tami mengangguk sebagai jawabannya.

“Kenalin, ini teman kakak. Dia di bagian yang sama dengan kamu. Kakak pikir kamu bisa bicarain bagian kalian bareng. Supaya lebih mudah.” Ujar Nuri. Tami tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah pemuda itu.

“Tami. Salam kenal, ya.” Ucap Tami. Pemuda itu menyambut uluran tangan Tami dan tersenyum tipis.

“Diga. Salam kenal juga.”

“Kak, aku pamit duluan, ya.” Pamit Tami.

“Kamu nggak ikut acara nanti malam?” tanya Nuri.

“Ikut, kok, kak. Nanti aku nyusul, deh.” Jawab Tami. Nuri hanya mengangguk sebelum kemudian Tami berjalan pergi. Diga terus menatap punggung Tami yang menjauh dan kemudian hilang dibalik pintu. Ia beralih menatap telapak tangan kanannya sambil tersenyum tipis. Mengingat betapa mungil tangan yang baru saja berjabat dengannya.

Oh my.. First part. Happy reading guys ❤❤

Take YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang