Orang berhamburan sana –sini mengurus kepentingannya sendiri, begitu juga Una yang sibuk mengambil kertas –kertas tugasnya yang berhamburan karena angin menghembuskannya. Rasanya sudah biasa baginya mendengar dua belas anak tertawa dibelakangnya, bukan berarti Una tidak merasa kesal. Una mengangkat tubuhnya tanpa melihat keatas, seseorang menubruk tubuhnya dari belakang. Una jatuh terdorong dan kertas –kertasnya kembali berhamburan tidak karuan, bahkan sebagian terinjak.
"Lihat –lihat kenapa sih, kan punya mata!"
Una menatap galak anak laki–laki yang menabraknya, "Yang gak lihat itu siapa?!"
"Kok ngelawan?!"
Una naik pitam, menendang selangkangan laki –laki dihadapannya. Una memelototi teman sekelasnya yang menyaksikan kejadian itu dengan galak hingga membuat mereka terburu –buru masuk. Una berbalik mengambil kertas –kertasnya dan meninggalkan laki –laki itu kesakitan di Lorong.
Una menggoncang - goncangkan gagang pintu Perpustakaan yang tidak bisa dibuka, lalu meringis tidak percaya. "Pasti bercanda, ini tidak lucu." Una mencoba mengintip lewat jendela, jelas sekali ada anggota club di dalam. Una tahu dia terlambat, bukan berarti kalian berhak mengunci pintu perpustakaan begitu saja.
Una menoleh melihat anggota club lain yang terlambat dating, anak itu menatapnya sinis.
"Oh.. telat juga." Ujar anak itu sambil berdecak, "menyebalkan." Anak itu mengetuk pintu, "Buka, ini aku."
Anggota lain membuka, mengetahui Una juga terlambat, wajahnya berubah masam. Anak itu masuk ke dalam. Una bermaksud ikut masuk, namun tiba –tiba setumpuk kertas melayang di depan wajahnya, menghadang dia masuk.
"Apa –apaan ini?" Una membentak
"Kau terlambat, kau tidak perlu ikut." Ujar anak itu.
"Apa bedanya dengan mu? Artinya kau juga tidak perlu ikut."
"Aku jauh lebih dibutuhkan, dan aku berdiri disini adalah buktinya." Jawab anak itu dengan wajah menyesalkan.
"Setahuku, aku jauh lebih berguna dari mu." Ujar Una dengan santai.
Anak itu menatapnya galak, "Ya, aku akui kau jauh lebih berguna." Anak itu menjatuhkan kertas –kertas Una dari tangan Una dan menarik kerah bajunya, "Asal kau tahu, kau jauh terlalu berguna untuk berada disini."
Una menampar anak itu hingga dia melepas kerah bajunya, masa bodoh dengan jumlah kekerasan yang sudah dilakukannya di sekolah dalam sehari. Una diam sambil menatap tajam satu –satu orang –orang yang berada dalam perpustakaan.
"Jauh lebih tegas jika kau bilang aku tidak semestinya lahir, dengan begitu bisa aku pastikan aku tidak akan pernah muncul di perut Ibuku."
Una berbalik dan pergi meninggalkan perpustakaan, tidak memedulikan kerumunan yang heboh menahan anak yang dia tampar itu hingga naik pitam dan berusaha memukulnya kencang –kencang. Una kembali ke ruang kelasnya, menatap murid satu kelasnya yang menatapnya jauh lebih sinis. Cepat –cepat dia berjalan ke bangkunya, yang tidak heran jika meja kursinya selalu penuh coretan, maupun sampah.
Tempatku bukan disini.
Una memasukkan semua barang–barangnya dari kolom meja ke dalam tas. Lalu dengan kakinya yang kurus, mendorong mejanya hingga terbalik, menghamburkan sampah –sampah itu, bahkan ada yang terbang dan hingga di kepala anak lain dan membuatnya histeris.
"Ulah kalian, maka bersihkanlah." Una menyingkirkan sampah –sampah yang menghalangi jalannya dengan kaki, dan berjalan pergi keluar dari kelas, jauh dari gerbang masuk sekolah.
Una sudah diam berdiri di ujung gang selama satu jam, tidak kunjung melangkah ke arah rumah. Una merasa bodoh, tapi juga tidak ingin kembali ke sekolah dimana taka da satupun yang bersikap baik padanya. Perlahan tapi pasti, Una melangkah ke rumah. Ini sudah biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hotel Bintang Barat
FantasyUna yang lelah dengan semua realita yang harus dilaluinya, mendengar rumor mengenai "Hotel Bintang Barat". Sebuah hotel bagi mereka yang ingin melarikan diri dari kenyataan dan bagi mereka yang telah putus asa. Una berpikir dia telah tidak waras dan...