BAB 3. Tuan Rumah Dekade ke 10.001

2 1 0
                                    

Una berlari melingkar diatas karpet sambil menjerit –jerit karena diikuti bayang –bayang hitam tinggi yang muncul dari dalam hotel. Una baru bukam setelah tersandung oleh kakinya sendiri. Bayang –bayang itu mengambil koper Una yang terlempar dan meletakkannya di kereta barang yang berjalan sendiri dari dalam hotel. Una merasa jantungnya akan copot.

"Selamat datang, Una. Tenanglah, mereka hanya staff."

Una cepat – cepat menoleh kebelakang. Laki – laki berkulit putih hangat dengan setelah jas biru Yale berkancing dengan dua ekor Panjang di belakang, kemeja biru turki, dasi kupu –kupu putih, celana panjang biru royal (cukup ketat untuk melihat pahanya yang ramping) dan sepatu kulit mewah. Rambut hitam kecokelatannya rapi tersisir ke belakang, menampakkan mata cokelat beningnya yang mengamati Una yang masih duduk di karpet.

"Itu bukan tempat duduk, duduklah disitu." Ujar laki –laki dengan mengarahkan jari telunjuknya ke kereta barang, yang secara ajaib menumbuhkan pagar di salah satu sisi kereta dan membentuk kursi sepanjang pagar itu.

Una mengerjap –ngerjap melihat yang baru saja terjadi, melupakan dari mana laki –laki itu muncul dan tiba –tiba ada di belakangnya.

"Kau butuh bantuan untuk berdiri?" Laki –laki itu berjongkok dan mengulurkan tangannya.

Una ragu –ragu memberi tangannya kepada laki –laki itu, lalu berdiri perlahan –lahan. "Em.. itu-"

"Kaki mu lecet." Laki –laki itu menyela, "keningmu juga berdarah, dan lengan kirimu hampir remuk." (Una sedikit lega mendengar kata hampir, bukan sudah) tangan kirinya bergerak seolah memanggil –manggil. Sekotak P3K terbang kearahnya. Dia membawa Una duduk di kursi kereta barang, kotak P3K ajaib itu terbuka dan menerbangkan perban dan obat –obatan yang Una tidak pernah lihat sebelumnya. Laki –laki itu menggerakan jarinya dan muncul air entah dari mana, membersihkan kaki dan kening Una. Obat dan perban itu mengerjakan tugasnya sendiri.

"Maaf.. itu apa?" Una menunjuk bayang –bayang yang mengejarnya tadi.

"Oh, itu roh. Yang berwarna hitam adalah staff hotel. Yang warna putih adalah tamu. Jangan keliru ya." Jawab laki –laki itu sambil tersenyum. "Mari kuantar ke lantaimu."

"Tunggu- lantai?" Una mengerutkan kening, "Bukannya kamar?"

"Lantai, sayang." Ujarnya mendekatkan wajah tersenyumnya ke wajah Una. "Lantai, bukan kamar."

Kereta barang berjalan seiringan dengan laki –laki itu sembari menggendong Una di kursi yang tumbuh secara ajaib tadi. Una mengamati laki –laki yang sekiranya lebih tinggi dua puluh senti darinya, dan bertanya –tanya sejak kapan dia memakai topi biru tua berpita putih yang mirip topi pesulap. Pintu kacanya terbuka secara otomatis, lobi dipenuhi kristal –kristal chandelier yang bersinarkan cahaya kuning terang yang hangat, tiang –tiang beton berbentuk balok yang menopang langit –langit putih, kursi –kursi taman yang terbuat dari kayu. Tapi Una tidak melihat adanya resepsionis. Lobi hanya dipenuhi oleh roh –roh putih dan hitam.

"Tidak ada resepsionis ?" tanya Una.

"Tidak, disini tidak butuh resepsionis." Jelasnya.

Mereka berhenti di depan lift, satu –satunya lift yang ada.

"Liftnya hanya satu ya?"

"Kau tidak perlu mengantri atau semacamnya, jadi tidak perlu khawatir."

"Lalu tamu yang lain?"

"Sihir, sayang." Jawabnya sambil tersenyum seperti sebelumnya.

Lift itu terbuka sendiri dan mereka masuk. Una turun dari kursi, berdiri berjejeran dengan laki –laki itu.

Hotel Bintang BaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang