BAB 2. Menuju Ufuk Barat

2 1 0
                                    

Una tertatih –tatih, berusaha berdiri dan melajutkan perjalanan, meski kepala berdenyut dan wajahnya membengkak karena tonjokan Ibunya. Ibunya melemparinya dengan gelas, vas bunga, bahkan piring. Mendorongnya keras –keras ke lantai, memukuli dan berteriak –teriak.

"KAU TIDAK BOLEK PERGI KEMANA –KEMANA"

Una masih sial, Ibunya melihat dia berlari keluar rumah. Una berusaha bertahan dan melawan, menantikan si pria kekar untuk menyeret wanita gila yang tidak mau lagi dia sebut 'Ibu'. Pria itu tak kunjung muncul. Una berusaha menjambak rambut Ibunya sekuat tenaga, mendorong Ibunya jauh –jauh dengan tenaga kaki yang tersisa, membuat Ibunya terjungkal jauh. Ibunya mulai bangkit dan akan menyerang kembali, cepat –cepat Una melepas sepatu bot kulit nya yang keras dan melemparkannya ke wajah wanita itu.

Ibunya terjungkal ke belakang. Tidak lama dia kembali bangun, berteriak, dan mencekik Una keras –keras. Una tidak bisa bersuara, tidak bisa bernafas. Pria kekar itu lari keluar dari rumah.

"DASAR WANITA GILA!"

Pria itu melepaskan cengkraman Ibunya dari leher Una, Ibunya memukuli suaminya. Una berusaha bernafas. Pandangannya buram, tapi masih dapat melihat tetangga –tetangga lain mengintip dari balik jendela. Nafas Una masih tersengal –sengal, perlahan dia mengambil tas dan kopernya.

"Cepat Pergi!"

Una menoleh terkejut, pria itu menhadang Ibunya dari menghajarnya.

"CEPAT!"

Una menggenggam erat –erat kopernya, dan berlari secepat yang dia bisa dengan kaki kiri yang telanjang. Tidak menoleh kebelakang. Seorang tetangganya keluar untuk melihat lebih jelas. Una cepat –cepat menghindar. Langkanya mendekati dinding rumah yang menghadang jalannya ke barat. Una harus belok.

Lurus terus ke arah barat

Una memejamkan matanya, memantapkan langkahnya, berlari sekencang –kencangnya. Siap menabrak dinding.

"AWAS!" tetangga yang tadi berteriak, lalu terkejut dan mencari –cari Una.

Una telah menghilang.

Jantung Una seperti sedang balapan dengan nafasnya, Una menembus dinding. Dan sekarang, Una berada ditempat penuh kabut yang tidak diketahui lokasi tepatnya. Una berjalan lurus kedepan, yang bisa dilihat hanyalah kabut. Una berhenti ketika kaki kirinya yang telanjang terasa basah.

Kabut di depannya jauh lebih tipis dari yang sebelumnya. Dihadapannya ada genangan air yang sangat besar, berisikan ikan –ikan kecil, bebatuan warna –warni yang mengkilap, dan lumut –lumut yang menempel pada batu biasa. Una melepas botnya. Disayangkan, yang sebelah tertinggal. Una mengambil beberapa batu yang mengkilap itu. Mengelapnya dengan baju dan memasukkannya kedalam bot.

Una mengikat botnya ke ransel, dan menggendong kopernya, melewati genangan air. Lengan kirinya terasa sakit, remuk, pikirnya, mengingat Ibunya telah menghajarnya habis –habisan. Kepalanya juga masih berdenyut menyakitkan, keningnya berdarah, namun Una tidak menyadari itu. Ikan –ikan kecil berenang –renang diantara kakinya.

"Kuharap kakiku tidak bau."

Una telah sampai di ujung genangan air, dia harus melewati tanah kering. Kaki nya sedikit lecet, tapi Una tetap berjalan bertelanjang kaki. Kanan – kirinya dipenuhi pepohonan kering, seolah habis terbakar. Namun semakin jauh dia berjalan, Una dapat melihat dedaunan dan rerumputan. Tidak hanya hijau, ada biru, merah, ungu, putih, dan jingga.

Una seperti bermimpi. Dunia lain ini sangat berbeda dari dunia nyata.

Andaikan aku lahir disini.

Una terus berjalan. Melewati tangga batu tua, jembatan kayu yang mulai reyot (Una takut setengah mati jembatan itu akan roboh ketika Una berada tepat di tengahnya), taman bunga yang terbuat dari es (Una mengigil dan kakinya membeku), dan goa dengan kristal–kristal berpendar yang Indah. Una terlalu menikmati pemandangan yang ada, hingga tidak merasakan berapa lama dan jauh dia telah berjalan.

Una tiba –tiba memikirkan uang. Yang Namanya hotel jelaslah mahal, dan Una tidak punya uang yang cukup untuk membayar hotel dimana dia akan tinggal selamanya. Kini Una melewati kebun bunga lagi, tapi yang ini terbuat dari kristal. BUnga kamomil yang dilihatnya dalam pot kristal berwarna kuning terlihat sangat indah dan mahal. Una memetik lima bunga kamomil, dengan sangat mudah.

"Kupikir tidak akan bisa dipetik. Kurasa aku bisa membayarnya dengan ini dan batu –batu yang tadi."

Una kembali berjalan, keluar dari kebun bunga. Una baru ingat bahwa selama dia berjalan melewati berbagai pemandangan, tidak ada kabut sama sekali, dan tidak terlihat gelap, mengingat seharusnya sekarang adalah waktu malam. Una menginjak sebuah karpet hijau tua dengan motif antik. Semakin Una mengikuti karpet itu, Kabut semakin tebal, semakin tebal, dan akhirnya tidak ada lagi. Tersisa cahaya kekuningan yang sangat terang.

Una mematung, menatap kedepan dan keatas. Una sampai di Hotel Bintang Barat.

Hotel Bintang BaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang