Una terus mondar – mandir dari pojok baca dan rak – rak buku. Sibuk mengambili buku yang kiranya cukup menarik, membawa sebanyak yang dia bisa. Sudah tiga hari Una menjadi kutu buku akut di perpustakaan. Kesannya seperti liburan sebelum tahun ajaran baru, namun nyatanya bukan.
Sulivan mulai sibuk dengan pekerjaannya yang lain. Dia hanya mengirimi pesan ke layar digital lantai Una. Selalu berbunyi "Aku sibuk, silakan menikmati harimu." Dari hari pertama Sulivan sibuk hingga sekarang.
Tumpukan buku yang diambil Una membentuk benteng buku, menyembunyikan Una dari tamu – tamu lain yang sama sibuknya. Una menumpuk bantal yang ada di pojok baca setinggi mungkin, menyandarkan punggung sembari membiarkan cahaya matahari hangat ajaib yang bolong – bolong tertutup pepohonan menyinarinya. Dengan hal paling sederhana itu, Una sudah berada di surganya sendiri.
"Boleh kenalan?"
Una mendongak ke sumber suara. Laki – laki remaja yang sekiranya setinggi dan sebesar Sulivan tersenyum padanya. Diperhatikannya lagi, laki – laki itu cukup mirip dengan Sulivan, kecuali rambutnya yang lebih tebal- namun rapi dan warnanya lebih gelap, dan mata hitam dan bibirnya yang tipis. Una lupa jika laki – laki itu masih menanti jawaban.
"Ah- Maaf. Siapa?" Sahut Una gugup.
"Aku Yutaka." Laki – laki itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya.
"Kauna, panggil saja Una." Una tersenyum kikuk, menjabat tangan Yutaka.
Yutaka dengan enaknya menyingkirkan benteng buku Una dan duduk di sampingnya.
"Banyak sekali buku yang kau ambil," Yutaka berbasa – basi. "Aku sih gak bakal kuat baca sebanyak ini."
Una masih tersenyum kikuk.
"Omong – omong, aku dari jepang. Aku tinggal disini setidaknya satu dekade yang lalu. Tapi sepertinya kita seumuran."
Untuk sesaat Una berseri – seri, "Wah, asik sekali-" Una teringat orang – orang seperti apa saja yang menjadi pendatang disini dan bungkam, "Ah- maaf. Aku tidak maksud."
"Tidak apa, kau pendatang baru?" Yutaka berkata dengan nada tidak ada rasa tersinggung sedikitpun.
"Indonesia. Lima hari yang lalu." Una menutup bukunya dan berusaha membiasakan diri dengan perkenalan (Una sedikitnya ansos).
Yutaka tersenyum, "Kusarankan buku di rak nomer 265, bukunya bagus – bagus." Badannya condong ke arah Una. "Mau makan siang bersama?"
Una tidak tahu caranya menolak, matanya menatap kemana – mana. Mencoba mencari jawaban yang cukup sopan untuk menolak ajakan makan siang. Namun perutnya menjawab lebih dulu. Yutakan masih menatapnya dan badannya semakin condong kearahnya. Wajah Una terasa panas dan merah bak kepiting rebus.
"Ayo!"
Yutaka menarik lengannya dan membawanya lari ke cafetaria, sementara otak Una berhenti bekerja dan jantungnya balapan dengan langkah kakinya.
"Wah – wah, apa ini?" Sulivan cengar – cengir diantara Yutaka dan Una yang makan siang berhadap – hadapan.
Una terlalu marah sekaligus masih terkejut. Wajahnya masih semerah kepiting rebus. Una sibuk memasukkan creamstew kedalam mulutnya sebagai tanda jangangangguaku untuk Sulivan. Namun Sulivan justru tertawa kencang, syukurnya tamu – tamu lain tidak ada yang peduli.
"Bagus sekali kau Yutaka." Sulivan duduk mendempet di sebelah Yutaka. Yutaka balas tersenyum sembari mengigit sumpitnya.
Una melotot kearah Sulivan, "Kalian kenal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hotel Bintang Barat
FantasyUna yang lelah dengan semua realita yang harus dilaluinya, mendengar rumor mengenai "Hotel Bintang Barat". Sebuah hotel bagi mereka yang ingin melarikan diri dari kenyataan dan bagi mereka yang telah putus asa. Una berpikir dia telah tidak waras dan...