BAB 6. Keonaran

3 0 0
                                    

Una mengubah lantainya menjadi rumah dua tingkat, di tengah – tengah hutan. Sudah sebulan sejak dia terakhir berinteraksi dengan Sulivan dan Yutaka, setelahnya mereka tidak sempat bertemu sama sekali. Sebulan menyendiri kesannya membosankan, tapi Una menikmatinya. Hanya ada pesan singkat masuk melalui monitor lantai, entah itu ucapan iseng atau hanyalah salam pagi – siang – sore – malam dari Sulivan. Una bertanya ada kesibukan baru apa kepada Sulivan, tapi Sulivan tidak memberi balasan sedikitpun.

Una menikmati me timenya, entah itu di cafetaria, perpustakaan, pantai, atau sekedar berjalan – jalan tanpa tujuan di lantai – lantai lainnya.

"Ternyata sesibuk itu ya pekerjaan tuan rumah. Yutaka juga tidak kelihatan."

Una menyaksikan kehebohan di depan jalan yang dilaluinya, makhluk – makhluk terlihat berisik dan bergerombol. Una berjalan mendekat, namun ditabrak oleh makhluk yang tak jelas wujudnya. Una terjungkal ke samping, makhluk itu meninggalkan semacam lendir tipis dan bulu burung berwarna keemasan.

"Una!"

Una menoleh, Yutaka terlihat terhimpit di kerumunan dan berusaha untuk bebas. Una cepat – cepat berdiri dan menarik tangan Yutaka dari kerumanan, dan berakhir terjungkal bersamaan.

"Kenapa kau terhimpit disitu?" tanya Una ngos – ngosan.

"Tiba – tiba sama mereka ribut dan aku terjepit begitu saja," jawab Yutaka sembari mengatur nafas, "Ngomong – ngomong, lama tidak bertemu."

"Ya, sudah sebulan. Apa kau melihat Sulivan?"

"Dia bilang dia harus mengurus sirens si rebel, dia tidak mengabarimu?"

"Sire - apa?"

Hentakan kaki kerumunan di belakang mereka terdengar semakin kencang dan mulai mendekati mereka. Yutaka dengan cekatan menarik lengan Una dan kabur ke lantai lain.

"Sebenarnya ada apa sih?" Una kembali dengan nafas tersengal – sengal.

"Kau sungguh tidak tahu?"

"Tidak, selama sebulan aku kelayapan sendirian baru kali ini aku melihat keributan di hotel."

"Sirens, makhluk mitologi itu. Mereka mulai membuat onar lagi. Jauh sebelum kau tiba, mereka sudah pernah bikin onar hitungan kali." Yutaka cerita dengan heboh.

"Aku tidak tau bentuk sirens, Aku bahkan tidak pernah berpikir mereka sungguhan."

"Dan ya, mereka sungguhan. Dan itu juga kenapa Sulivan sibuk."

"Harusnya dia membuat peringatan di hotel." Gerutu Una.

Yutaka dengan perlahan bangun dan berjalan kearah dapur, mengambil camilan dan minuman dingin.

"Yah, sebaiknya kau tidak mendekati kerumunan manapun. Lebih baik lagi jika kau tidak keluyuran."

Una menatap Yutaka sambil cemberut, dirinya bosan, ingin pergi ke tempat – tempat dia biasa pergi. "Oke."

Selama setengah hari Una berdiam bersama Yutaka di rumah jepang kuno itu, memperhatikan lonceng angin yang berbunyi nyaring, rumput yang berisik, dan burung pipit bercicit yang tak kehabisan nafas dan suara sedikitpun. Yutaka sibuk membaca dengan satu tangannya memegang garpu yang menancap pada potongan nanas, duduk dengan kaki disilangkan dan telapak kaki yang sibuk menghentak – hentak mengikuti ritme yang kemungkinan hanya terdengar di kepalanya. Una merentangkan lengannya keatas dan perlahan menurunkan badannya hingga posisi terlentang.

"Hei, bisa tolong ambilkan alas itu?" minta Una.

Yutaka menoleh dan melemparkan alas duduk itu tepat di samping bahu Una.

Hotel Bintang BaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang