"Kami pergi dulu!"
"Ya ... di jalan, hati-hati!"
"Kau juga ...."
Getaran mesin mobil mungil terasa menjauh seiring dengan sosoknya yang terlihat semakin mengecil. Lambaian tangan orang yang ditinggalkan melambat hingga akhirnya berhenti. Perlahan dia menurunkan tangannya. Pandangan matanya masih tertuju pada garis horizon tempat menghilangnya trotoar, garis putih, dan segala kendaraan yang melintas.
Seperti biasa jalan besar itu selalu sepi. Bahkan setelah menunggu beberapa menit—siapa tahu mereka kembali karena ada barang tertinggal, tetapi tidak banyak kendaraan yang melintas. Konon katanya karena orang sekarang lebih memilih rute jalan baru yang lebih lebar.
Lelaki itu menghela napas panjang, sudah waktunya dia pulang. Namun, baru memutar badan, dia terlonjak kaget. Seorang ibu-ibu paruh baya ternyata sudah berdiri di dekatnya, entah sejak kapan. Bibir merah yang dipulas gincu magenta tebal, tersenyum lebar. Sangat lebar hingga memperlihatkan deretan gigi depan dan gusinya.
"Waduuuhhh kaget, ya? Maaf, lho ... Pak Jaka. Padahal dari tadi sudah saya sapa, tapi ...."
Perempuan tua itu mendadak menutup mulutnya seperti baru ingat akan sesuatu, lalu segera menepuk-nepuk pundak lelaki di hadapannya dengan canggung.
"Tadi saya lihat istri dan anaknya bepergian, kok tidak ikut? Bisa, di rumah sendirian? Kalau butuh apa-apa, tinggal ke sebelah saja, Pak Jaka!"
"Terimakasih banyak. Tapi ...."
"Ini saya menunggu bus ke kota ... Biasa, belanja. Nitip sesuatu? Camilan? Makanan? Di kulkas makanannya cukup?"
"Err ... Tidak perlu, Bu. Terimakasih, istri saya sudah ...."
Perempuan itu terus menyerocos tentang banyak hal. Saking cepatnya Jaka tidak lagi dapat menangkap apa saja yang dibicarakan. Untung saja bus yang ditunggu-tunggu olehnya datang. Jaka segera menggunakan kesempatan itu untuk pamit kembali ke rumah.
Untuk mencapai rumah tinggal Jaka sekeluarga, hanya perlu masuk gang dari tepi jalan besar. Beberapa menit saja, baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan. Gangnya cukup sempit, dengan mobil keluarga mereka yang mungil pun harus berhati-hati saat melalui gang itu. Lebarnya hanya cukup untuk satu mobil SUV dan satu sepeda motor saja. Bila ada dua mobil berpapasan, salah satunya harus mengalah, mundur sedikit ke belokan terdekat untuk memberi jalan bagi yang lain.
Untungnya tidak banyak penghuni gang di sekitar situ yang memiliki mobil. Dalam satu RT, selain keluarga Jaka, hanya ada 3-4 rumah lain yang memiliki mobil pribadi. Apabila ada tamu yang datang, mobil mereka biasanya diminta untuk diparkir di lapangan RT.
Gerbang masuk setinggi dada terasa seret ketika Jaka mendorong pintunya. Lelaki itu jadi ingat, istrinya sempat meminta untuk meminyaki engsel-engsel pintu gerbang karena suaranya sudah mulai memekakkan telinga.
Jaka meraih kaleng oli dari rak garasi. Sialnya, kaleng itu ternyata sudah nyaris kosong, sementara dia tidak merasa ingin merepotkan para tetangga. Dengan berat hati Jaka mengirim pesan mengenai oli yang habis pada sang istri, supaya dia tidak kena teguran saat mereka pulang dari berlibur.
Rumah yang tak seberapa luas itu terasa sepi tanpa kehadiran istri dan anaknya. Jaka sedikit menyesali pilihannya untuk tidak ikut mengunjungi rumah mertua bersama mereka. Sayangnya dia tidak punya pilihan. Ada lukisan yang harus diselesaikan sebelum besok lusa. Bila dia ikut serta, setengah harinya akan terbuang di perjalanan. Belum lagi kemungkinan di tempat mertua nanti dia tidak bias leluasa kembali ke kamar untuk melanjutkan bekerja.
Jaka menghidupkan perangkat komputer yang dia gunakan untuk bekerja. Sembari menanti alat melukisnya siap digunakan, dia pergi ke dapur, menyiapkansepoci kopi dan sepiring kue kering. Amunisi bagi Jaka bila sudah memasuki mode bekerja. Tidak lupa dia mengikuti pesan istrinya untuk memasang alarm—jaga-jaga kalau tidak sempat menghubungi Jaka untuk mengingatkan waktu makan dan tidur.
Alarm menyala ketika Jaka tengah asyik menorehkan detil. Lampu berkedip-kedip menyilaukan dari ponsel terasa menusuk mata karena ruang kerjanya gelap. Rupanya tanpa dia sadari matahari sudah tenggelam, dia lupa menyalakan lampu. Begitulah kalau terbiasa menggunakan layar yang pencahayaannya diatur minim.
Ogah-ogahan, Jaka bangkit untuk meraih ponsel yang tadi sengaja dia letakkan agak jauh dari meja kerja—memastikan lelaki workaholic itu tidak sekadar mematikan alarm dan mengabaikan jam makan. Terlanjur melangkah, sekalian juga dia memutuskan untuk menyalakan penerangan rumah.
Jaka baru akan mencapai tombol lampu di ruang tengah ketika pandangan matanya tertuju pada sesosok bayangan manusia di balik tirai jendela. Bulu kuduknya meremang. Siapa pun itu terlihat berusaha mengintip ke dalam. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu teras yang menyala otomatis pada jam yang sudah ditentukan, sementara dalam ruangan gelap gulita. Diperparah dengan adanya tirai dan vitrase.
Jaka menelan ludah. Lelaki itu berusaha bergerak sesenyap mungkin untuk mengamati lebih jelas maksud sosok di balik jendela. Lelaki atau perempuan, masih belum jelas. Kemudian dia melihat sosok itu bergerak ke arah pintu.
Dengan panik Jaka buru-buru berlari menuju pintu, tetapi terlambat beberapa langkah. Gagang kuningan di pintu lapis multiplek, bergerak turun. Satu-dua entakan dari luar mengguncang daun pintu. Lalu berhenti. Syukurlah dia sempat mengunci saat pulang tadi.
Jaka menahan napas.Pikirannyaterbagi, antara menggunakan ponselnya untuk menghubungi polisi, atau memastikan dulu maksud tamu tak diundangnya. Akan sangat merepotkan banyak orang bila sudah terlanjur mendatangkan petugas, ternyata Bagaimana kalau ternyata hanya orang salah alamat?
Mencoba berpikir positif, Jaka kembali bergerak menuju pintu, bermaksud untuk menyapa sosok itu. Tak lupa dia pastikan rantai pintu terpasang dengan baik. Tangannya sudah mencapai batang kunci, hanya perlu satu gerakkan memutar. Mendadak, BAM!!! Pintu dan kacas ampai bergetar hebat.
Kejutan itu cukup untuk membuat nyali seorang lelaki dewasa ciut. Apabila ada cahaya yang cukup, orang bisa melihat warna di wajah Jaka memucat. Dengan tangan gemetar, susah-payah dia membuka kunci layar ponselnya.
Terpampang sebaris notifikasi bertuliskan: Ay, adikku bakal nginap. Kbetulan bes- .... Kalimatnya terputus karena keterbatasan tempat. Wajah istrinya yang tersenyum manis di sisi kiri membuat takutnya terbang seketika.
Jaka bergegas menyalakan lampu ruangan, lalu membuka kunci pintu. Daun pintu sempat tertahan ketika berayun membuka, dari celah yang bisa dicapai rantai pintu, lelaki itu bisa melihat wajah khawatir adik iparnya.
"Waktu aku sampai, dalam rumah gelap. Diketok-ketok ga ada yang jawab. Pintu kuncian," omel adik istrinya dengan isyarat tangan.
"Maaf," sesal Jaka dengan bahasa isyarat yang sama. "Aku kerja keasyikan."
Walau tidak tuli total, telinga Jaka sulit menangkap percakapan dan suara lirih. Mungkin istrinya khawatir meninggalkan Jaka sendirian selama 3 hari, jadi meminta sang adik datang.
"Mas, aku juga bawa oli untuk pagar."
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Thriller x Slice of Life
Mystery / ThrillerHati-hati! Keseharianmu yang tenang bisa berubah jadi mimpi buruk dalam sekejap. *** Dalam Genre Festival Nusantara Pen Circle kali ini, para penulis akan menyajikan tulisan dengan Genre Thriller yang akan dibumbui dengan Genre Slice of Life. Sela...