Tuhan Maha Baik

117 29 1
                                    

Langkahnya berpacu. Beberapa kali ia sempat tersandung. Hampir terjatuh, tapi bisa diatasi. Di saat seperti ini, ceroboh sedikit nyawa menjadi taruhan. Terlebih, sempat dilihatnya salah satu pengejar membawa golok. Golok yang seakan siap melayang kapan saja. Sementara, salah seorang yang lain memegang pistol.

Pistol asli. Bukan sekadar gertakan. Diisi dengan peluru. Sudah dua kali terdengar tembakan dari belakang sana. Sebanyak itu pula dirinya berhasil menghindar.

Gila! Seolah-olah aku mencuri lukisan Monalisa, pikirnya.

"BERHENTI KAMU!"

Berhenti sama dengan mati. Lebih baik lari meski harus merasa nyeri di pergelangan kaki kian menjadi-jadi. Sejujurnya, Tama payah soal urusan lari dan menghindar. Apa daya. Daripada harus mati sia-sia, lebih baik kehilangan hampir setengah daya napas.

Tembakan kembali terdengar. Syukur, Tuhan masih menyayangi Tama. Meleset. Namun, siapa bisa menjamin keberuntungannya lebih dari tiga? Bisa saja ini yang terakhir.

"ANAK SIALAN!"

Kalian yang sialan! Tama mengutuk dalam hati, diiringi rentetan sumpah serapah.

Mungkin dia memang sedang apes. Salah menentukan target. Sebuah apotek yang dirasa aman, tidak tahunya justru mengerikan. Awalnya, semua berjalan sesuai rencana. Tama 'membeli' beberapa obat. Modus merayu gadis yang melayani. Meminjam ponsel dengan dalih ingin mengirimkan pesan pendek pada ibunya yang sakit-sakitan kalau dirinya akan segera pulang.

Pada dasarnya, Tama memang tampan. Senyumnya memikat. Kepribadiannya sekilas menyenangkan. Ponsel si gadis berhasil ia pinjam. Tama lantas berkata ada satu obat yang terlupa. Si gadis pergi mengambilkan, dan Tama secepat kilat kabur usai menyambar obat di dekat lengan. Plus ponsel di tangan.

Ini memang sudah tengah malam. Hanya dia seorang yang mampir membeli obat (kalau memang itu bisa disebut membeli). Napasnya tenang saat melewati petugas keamanan. Barulah setelah tujuh langkah menjauh, terdengar jeritan. Diiringi seseorang mengejar. Untuk sekian kali, Tama terlibat drama ini: menghindari dan berkelit.

Mana Tama tahu petugas keamanan itu ternyata anggota polisi. Ditugaskan karena banyak laporan terjadi pencurian di sekitar daerah tersebut. Awalnya hanya satu orang mengejar. Lalu merambat menjadi banyak orang. Usut punya usut, memang Tama yang selama ini dicari. Habis sudah kesabaran para warga yang menjadi 'korban'.

Satu-satunya korban di sini adalah aku. Dasar kalian orang-orang kaya kikir sialan.

Tama berpikir cepat. Kalau begini terus, dia tidak akan selamat. Habis riwayatnya. Berpikir, Tama. Diliriknya ponsel di tangan. Apa boleh buat? Relakan satu benda demi keselamatan nyawa. Salahnya juga, sih. Niat awal hanya mencuri obat bercabang ke mana-mana.

Kakinya terus berlari. Telinga mendengar sumpah serapah. Namun, tangan dan mata tidak peduli. Fokus pada ponsel curian. Tuhan maha baik. Tidak dikunci. Buru-buru Tama mengangkat wajah. Belokan. Secepat itu pula ia berbelok.

Tuhan memang sangat baik. Pertigaan di hadapan. Ia kenal benar daerah ini. Dengan keyakinan melakukan ini demi kebaikan, Tama melemparkan ponsel di tangan ke jalan lurus di depan. Sementara dirinya belok ke kanan. Menuju jalan buntu. Tembok berada di hadapan. Lekas-lekas ia memanjat dan menjatuhkan diri di halaman belakang rumah Pak Kasing—laki-laki tua yang sering Tama curi buah mangganya.

Tama tahu ini tindakan tolol. Bisa saja mereka yang mengejar sadar dengan trik ini. Menggunakan ponsel sebagai umpan. Seakan Tama lari lurus ke depan, tidak sadar ponsel curian tercecer. Untungnya, Tuhan tahu apa yang terbaik. Perlahan, masa tidak lagi terdengar. Sepertinya tertipu.

Setidaknya, aku selamat kali ini.

Tama menghela napas. Waktunya kembali. Tidak jauh. Jarak rumah Pak Kasing dan rumahnya paling hanya lima menit. Dirabanya saku celana. Syukurlah. Hal paling penting dari operasi malam ini selamat.

Tama kembali dengan selamat. Tidak kurang satu pun. Setidaknya, ia aman di sini. Rumah kecilnya jauh dari keramaian. Dirogohnya saku celana, mengambil anak kunci. Terdengar derit memilukan saat membuka dan menutup pintu. Bergegas, Tama menuju salah satu kamar.

Ia tidak berbohong soal ibunya yang sakit-sakitan. Terbaring lemah di dipan yang tampak rapuh. Tama mendekat, menggenggam tangan sang ibu yang terasa dingin. Dikeluarkannya obat-obatan hasil usaha malam ini.

"Bu, minum obat."

Hanya ini yang bisa ia lakukan. Bukan hanya obat. Keperluan lain seperti sembako dan sebagainya juga mengharapkan ketangkasan Tama berlari dan menyelamatkan diri. Tuhan maha baik. Tama selalu selamat dengan segala usahanya. Mungkin Dia tahu hanya ini yang bisa Tama lakukan.

"Bu ...."

Tangan Ibu terkulai lemah. Tidak berdaya. Matanya terpejam. Tama kira, Ibu akan bangun segera. Nyatanya, napas yang telah tiada memberikan pertanda.

Tuhan maha baik. Setidaknya, Ibu tidak kesakitan lagi ....

GenFest 2020: Thriller x Slice of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang