Perjalanan

121 29 1
                                    

Sebenarnya, apa yang salah? Aku berjalan tergesa menelusuri jalanan yang mulai lengang. Cahaya temaram lampu jalanan seolah mengikuti ke mana kakiku melangkah. Takut, dan khawatir. Kedua rasa itu berkecamuk di dadaku.

Sesekali aku menengok ke belakang, lalu mempercepat langkah dan memperluas jarak antar kakiku. Bagaimana bisa aku masih berada di sini?

Keringat menetes mulai dari dahi menuju pelipis hingga bercampur dengan air mata yang sudah entah sejak kapan mulai keluar dari mataku yang kecil.

Dor!

Aku berjengit, setengah melompat karena panik. Pelan, aku menengok ke arah suara. Ragu dan takut menjadu satu. Tidak ada suara lain yang kudengar, hanya detak jantungku sendiri.

Satu langkah maju, lalu berjalan mundur sedikit. Tidak, tidak. Aku harus berani. Perlahan aku maju dan mencari sumber suaranya lagi, tapi nihil. Mataku terpejam, berusaha menenangkan diri sambil menghitung dalam hati.

Ayo Marianne, ayo kita berjalan lagi. Aku menyemangati diri sendiri lalu berbelok ke arah gang kecil di ujung jalan utama. Kutarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Tembok tembok tinggi yang mengapit gang ini tampak lebih menakutkan sekarang.

Satu. Dua. Lari!

Aku berlari tanpa menoleh, meski beberapa kali aku merasa ada suara langkah kaki yang berderap mengikuti. Tidak, tidak. Sebentar lagi sampai. Aku harus terus berlari.

Secercah cahaya terlihat di ujung gang membuatku seperti diberi harapan. Lagi-lagi aku memaksa kaki untuk melangkah lebih lebar dan cepat. Sebentar lagi aku sampai—ah!

Langkahku terhenti, sesuatu menarik tanganku dari belakang. Dingin, seperti beku. Aku memejamkan mata, enggan melihat apa yang menahanku ini, air mata mulai turun lebih deras. Tidak, apakah kali ini aku tertangkap?

"Marianne! Sadar! Marianne!"

Aku membuka mata, menyipit. Kenapa dia tahu namaku? Sesuatu itu melepas cengkeramannya pada tanganku.

"Bermain imajinasi sendirian lagi saat pulang sekolah? Sampai kapan kamu akan terus begitu, Anne?"

Jatuh. Aku memegang dada sambil menarik napas lega. Ah, aku lagi-lagi larut dalam imajinasi film yang kutonton beberapa hari lalu saat pulang sekolah. Sial, ternyata menonton film thriller bisa berakibat separah ini pada aku yang suka mengkhayal selama perjalanan pulang.

Aku melempar senyum pada Bona, sahabatku. "Maafkan aku, Bona. Terima kasih sudah menyadarkanku lagi."

Dengan langkah santai aku berjalan menuju rumah yang sudah tinggal beberapa langkah lagi. Perjalanan menegangkan apalagi ya yang akan aku jalani besok?

GenFest 2020: Thriller x Slice of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang