DUA JALUR

142 31 2
                                    

Aku masih setengah tenggelam dalam dunia mimpi kala suara jeritan diiringi tangisan melengking terdengar. Ya Tuhan, apa anakku yang baru berusia enam bulan sudah bangun? Aku berusaha membuka kelopak mata yang menempel erat akibat baru tidur sebentar sejak pukul dua dini hari tadi.

Rando sudah dua hari ini rewel sekali. Roseola membuat tubuhnya demam hingga empat puluh derajat. Pagi tadi bercak merahnya bermunculan bersamaan dengan suhunya yang kembali normal. Namun, ternyata aku belum boleh lengah.

Hal pertama yang tertangkap oleh mata adalah siluetnya yang menangis meronta-ronta di sebelahku. Di tengah keremangan lampu tidur, aku bisa melihat sesuatu berwarna putih pucat keluar dari mulut mungilnya. Bergerak-gerak tak keruan.

Aku membeliak dan melompat bangkit untuk menyalakan lampu. Mataku mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya yang mendadak menyergap.

Rando menendang, menggelepar. Air matanya bercucuran. Sesuatu masuk paksa ke lehernya. Sial! Di mana kacamataku? Tak ada waktu! Aku bahkan tak tahu sekarang sudah jam berapa.

Suara napasnya terdengar sesak dan semakin sedikit. Apa benda putih itu masuk ke kerongkongan atau tenggorokan? Berbagai pikiran buruk mau tak mau melintas di kepala.

Dengan minus cukup besar, aku menyipitkan mata, berusaha fokus melihat benda apa yang masuk ke mulutnya. Tanganku sedikit gemetar ketika berusaha membuka paksa mulutnya yang menutup begitu rapat. Tubuh terlentangnya masih menggelinjang.

Air liur membasahi jemari dan tanganku. Licin. Harusnya kulap agar mudah kubuka paksa. Ke mana tisu di saat kuperlukan? Kutarik bajuku dan kujadikan lap ke wajahnya.

Astagfirullah! Rando menelan tisu! Dari serpihan yang terlihat di sekitar tubuhnya, dia sudah menjejalkan beberapa helai. Astaga, aku lupa menurunkan kotak tisu dari kasur setelah menyuapinya malam tadi. Mau menangis pun sudah tidak ada waktu.

Aku masih berjuang membuka mulut Rando, tapi lagi-lagi produksi liurnya tak bisa dikendalikan. Aku semakin kesulitan. Jantungku berdegup semakin kencang terutama kala melihat bola matanya mulai membeliak dan tubuh mungilnya masih mengentak-entak.

"Diam, dulu, Nak." Suaraku tenggelam oleh jeritannya.

"MAMA! ADIK KENAPA?!" Suara jeritan Hanan, putra sulungku yang baru terjaga karena keributan menambah masalah.

"ADIK KENAPA, MA? MA, ADIK KENAPA?!" Suara bocah tiga tahun itu semakin melengking.

"DIAM! JANGAN RIBUUT!!" sentakku tak sabar dan sedikit mendorongnya menjauh. Kenapa di saat begini, suamiku justru harus kerja shift malam!

Kuulurkan tangan ke dalam mulut Rando. Jari telunjuk dan jempolku kembali masuk. Aku bisa merasakan geliat licin yang begitu sulit untuk kucapit. Setiap kali kutarik keluar, tisu justru sobek. Banyaknya air liur justru membuatnya semakin rapuh dan kecil. Bagaimana jika ada serpihan yang masuk ke jalur napas?

Aku mulai putus asa ketika gerakan Rando semakin menggila, sementara Hanan malah kembali menggelayut di lenganku, gemetaran.

Terpaksa kudorong tubuhnya menjauh agar tidak mengganggu. Akibatnya, dia justru menangis kencang. Ya, Tuhan! Tapi aku tak mungkin harus menenangkannya. Suara tangis keduanya saling tumpang-tindih memekakkan telinga.

Rando kududukkan. Kusangga punggungnya dengan kaki kiri yang ditekuk ke atas, sementara kaki mungilnya kutindih dengan paha kananku. Dada dan lengannya kukunci dengan lengan kiriku.

Dia berhasil kudiamkan.

"Bismillah! Kamu harus bisa!" bisikku berulang-ulang. Aku berusaha meyakinkan diri mampu menyeret tisu itu keluar dalam satu kali tarikan. Kukibaskan tanganku beberapa kali guna mengusir getar dan kulap ke belakang baju.

Dengan gerakan cepat, kutarik dagunya ke bawah dengan tangan kiri yang masih melingkar ke dadanya. Jemari kananku meluncur masuk, cukup dalam. Aku bisa merasakan tulang jariku menyentuh pipi bagian dalam yang basah.

Tiba-tiba dia seperti nyaris muntah. Aku berhasil meraih tisunya. Kudorong jari tengahku masuk. Tiga jari masuk ke mulut mungilnya. Dia semakin megap-megap tak nyaman.

Ya Tuhan, aku merinding ketika merasakan ada cairan lendir yang terasa kuat di jemari. Akan tetapi, aku tal boleh ragu sama sekali! Sembari mengucapkan basmalah, aku tarik tisu itu jauh lebih perlahan dari sebelumnya. Otot tubuhku menegang menahan gerakan Rando yang kadang masih berusaha lepas dari dekapan.

"Jangan lepas! Jangan lepaaas!!"

Aku bisa merasakan sesuatu tertarik dari dalam. Terasa panjang dan lengket. Jari tengahku terus menggulung tisu ke telapak tangan, sementara telunjuk dan jempol berusaha tetap menggenggam sisanya.

Tangis Rando tiba-tiba berhenti. Pancaran wajahnya berubah. Napasnya kembali tenang dan teratur.

BERHASIL!!

Tisu itu akhirnya keluar. Kupandangi tisu basah berselaput lendir yang ada di tanganku nanar. Panjangnya hanya sekitar lima senti, tapi mampu membuat Rando menggila. Kulempar kasar nenda laknat itu ke lantai.

Rando tiba-tiba memelukku erat. Menarik bajuku ke atas, minta menyusu.

Sebelum itu, kusambar sipping cup yang memang selalu tersedia di atas kasur. Kubuka tutupnya masih dengan jari gemetar. Kubantu dia minum perlahan. Haus sekali rupanya. Air putih itu dihabiskannya segera.

Dia tersenyum dan menyusupkan kepalanya ke lenganku. Aku pun mengubah posisi dan menidurkannya sambil kupeluk erat.

Hanan perlahan mendekat. "Adik, udah nggak apa-apa, Ma?" Dia tampak sudah mengerti alasanku mendorongnya hingga berhenti menangis. Syukurlah.

Aku hanya bisa mengangguk lemah sembari membelai kepalanyaa.

Tampaknya, tisu hanya menyangkut di jalur makanan. Seandainya saja ke jalur napas, mungkin tidak akan berakhir baik.

#Fiksi

GenFest 2020: Thriller x Slice of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang