Haru masih terjaga sampai pukul satu dinihari, setelah mengobrol dengan Suzue panjang lebar sebelum tidur. Haru kesulitan memejamkan matanya, pria itu mengubah posisinya menjadi duduk. Ia melirik Suzue yang sudah tertidur dengan pulas, senyum Haru berkembang. Suzue tidak berubah sama sekali. Ia tidak canggung bergaul dengan laki-laki, bagaimana bisa Suzue dengan santai membiarkan dirinya tidur sekamar dengan pria?
Selimut dinaikkan, ia membetulkan letak selimut Suzue yang melorot. Ponsel diatas nakas bergetar, Haru mengambilnya dan berpikir bahwa Yoko yang menelephone. Pasti adik sepupunya itu akan cerewet menanyakan soal liburannya, jadi tanpa melihat nama kontak yang tertera Haru segera mengangkat telephone yang masuk.
"Moshi-moshi, Haru-kun."
Senyum yang sejak tadi bertengger dibibir Haru lenyap, ia mengenal betul suara siapa ini dan hanya satu orang yang memanggilnya dengan suffix -kun selain mendiang ibunya.
"Sakura?"
Sakura Naruse, terlihat menghela napas lega diseberang sana. Haru terdiam kaku, sejak putus Sakura memang tidak pernah menghubunginya sama sekali. Jadi hal ini sangat mengejutkan untuk Haru, ludah ditelan dengan sulit. Bertanya-tanya, kenapa Sakura menghubunginya lagi?
"Syukurlah kau masih mengingatku, apa kabarmu baik-baik saja?"
"Ya, aku baik. Kau sendiri?"
Sakura tertawa lirih, dari nadanya Haru menebak bahwa mantan kekasihnya itu sedang lelah. Sakura memang tidak pernah mengeluhkan apapun padanya, ia adalah perempuan yang mandiri dan selalu berusaha menyelesaikan masalahnya sendirian. Mungkin, jika Sakura sudah tidak bisa menahan kegelisahannya ia akan berterus terang pada Haru.
"Aku merindukanmu, Haru-kun."
Haru mengenggam ponselnya erat, hatinya berdebar. Selama nyaris setengah tahun tidak saling menghubungi, Sakura menelephonenya dan mengatakan rindu padanya.
"Kenapa tiba-tiba?"
"Kupikir, rasanya tidak benar jika aku terus hidup dalam aturan kedua orangtuaku. Aku sudah berusaha untuk melupakanmu, tapi aku tidak berhasil sama sekali."
"Aku tidak mau membuat hubunganmu dan orangtuamu berantakan." Ujar Haru, menepis jauh-jauh perasaan yang mencoba mendominasi dirinya saat ini. Haru sudah meyakinkan diri bahwa Sakura adalah bagian dari masalalunya, menurutnya jikapun mereka meneruskan ini Haru hanya akan membuat ikatan antara Sakura dan orangtuanya merenggang. Sakura harus mengutamakan orangtuanya dibanding dirinya, apapun keadaannya.
"Tapi aku merindukanmu, sangat."
Haru menghembuskan napasnya lelah. "Aku matikan telephonenya, kau beristirahatlah. Ini sudah malam." Haru mematikan sambungan telephone begitu saja, ia mengusap wajahnya kasar. Ia segera mematikan ponselnya ketika panggilan ada masuk dari Sakura.
Haru masih ingat bagaimana orangtua Sakura menghinanya. Mengatakan bahwa derajatnya dengan Sakura sangatlah berbeda. Haru hanya pria miskin berpendidikan rendah, sementara Sakura adalah seorang dokter dan tentu harus memiliki pasangan hidup yang setara dengannya. Rasanya benar-benar menyakitkan, harga dirinya diinjak-injak hanya karena ia mencintai Sakura. Oleh sebab itu, ketika hubungannya dengan Sakura selesai Haru bisa menerimanya dengan lapang dada. Untuk apa mempertahankan sebuah hubungan yang hanya akan menyakitinya?
Pintu kamar sedikit terbuka, Haru menoleh dan terbelalak melihat Daisuke masuk. Pria itu mengenakan baju tidur bercorak sama dengan milik Hitomi tadi.
"Kenapa kau kemari?" Bisik Haru, ia panik karena ada Suzue disini. Daisuke tidak menjawab, ia langsung mencium Haru dengan ganas. Tidak perduli si rambut abu berusaha mendorongnya menjauh. Daisuke memiringkan kepalanya, menjangkau seluruh permukaan bibir Haru dan memasukkan lidahnya. Haru sendiri menahan dada Daisuke, matanya berkali-kali melirik pada Suzue yang masih terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter [Daiharu]
FanficSebuah surat cinta yang akhirnya membuat pelik segalanya. NB : Daiharu, Daisuke x Haru, BL, Mature content