Terdesak

135 21 17
                                    

Syair Arab berbunyi, " Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya."

****

Ini semua, jauh beberapa tahun sebelum aku kembali ke Batam dan Indonesia. Dan aku... masih merupakan orang yang belum mengerti diriku sendiri. Juga jalannya roda kehidupanku.

Jika langit malam terlukis. Tentu akan indah. Seperti melihat monumen laut yang berkilauan. Menarik hati dengan pantulan warna dari cahaya yang mengenainya. Bersinar. Tanpa ragu dan terus percaya diri. Dengan tekad yang teguh. Dan keberanian yang kukuh. Dia melindungi segenap makhluk laut lain yang berlindung padanya. Seakan berkata, tidak akan ada bahaya yang berani menyentuhmu. Jika kau tetap bersamaku.

Aku ingin bersinar layaknya monumen laut. Aku ingin berani. Walau hanya untuk melindungi diriku sendiri. Aku ingin percaya diri dan tak kenal rasa ragu. Orang-orang menilaiku, bahwa aku sangat bersinar seperti monumen laut. Cantik dan indah. Bahwa aku sungguh berani melawan apapun yang berada dalam diriku sendiri. Terutama rasa gugup. Dan bahwa aku sungguh percaya diri. Tak kenal rasa ragu ataupun takut. Akankah semua itu benar? Akupun... tidak tahu. Apakah semua itu benar atau tidak. Hal apakah yang membuat itu benar? Bahkan, mereka tak pernah mengetahui background yang melatar-belakangi kepribadian dan kahidupanku. Hal apakah yang membuat itu tidak benar? Mungkin, hanya aku sendiri yang tahu jawabannya.

Menjadi salah satu anak dari tujuh bersaudara itu bukanlah hal mudah. Ayah dan mamah memiliki pandangan kasih yang berusaha untuk tetap adil pada kami semua. Namun, aku tak pernah melihat usaha itu terjun padaku. Ingin mencari perhatian mereka saja, rasanya seperti... mencari satu butir pasir hitam dalam se-ember tumpukan pasir putih. Sulit sekali didapat. Namun berbeda dengan saudara-saudaraku. Mereka mendapatkan kasih sayang yang adil. Bagi mereka, mendapatkan suatu perhatian, seperti mengambil bola diatas pasir. Sangat mudah. Tentu kalian tidak berpikir jauh-jauh. Toh, bola kalau diatas pasir begitu, pasti jelas terlihat. Ya, langsung ambil saja. Maka, semudah itulah usaha mereka.

Perbedaan pandangan mereka ini, selalu membuatku berpikir. Apakah aku ini adalah anak kandung mereka? Apakah aku darah dan daging mereka? Apakah...aku ini anak haram? Sehingga mereka merasa jijik jika harus berkaitan denganku. Saat aku merasa amarahku mulai membukit, karena perlakuan mereka terhadapku. Aku tidak bisa benar-benar marah. Aku... tidak tahu. Aku terus mencoba untuk tetap berpikir, bahwa mereka masih orang tuaku. Aku harus berusaha menerima apapun perlakuan mereka terhadapku. Selama mereka... tidak memerintahku melakukan hal yang buruk. Kurangnya dukungan dari orang yang kuharapkan, juga menjadikan tipisnya akan keyakinanku pada diriku sendiri. Memang, hidup itu bisa serumit ini.

Aku adalah anak lahiran Kota Batam. Anak ke-empat dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, aku tinggal di kota baru ini. Banyak orang bilang, bahwa aku lahir dalam keadaan hidup yang bisa dinilai sempurna. Hidup terbilang sangat tercukupi. Memiliki saudara yang bisa menghangatkan hati. Memiliki orang tua yang adil akan sayang dan kasih. Aku merasakan semua itu pada awalnya. Namun, aku tak begitu dekat dengan kedua orang tuaku. Dan kemudian, kata 'Sempurna' itu mulai hilang. Perlahan memang, tapi aku bisa dengan jelas merasakannya.

****

Tentu, bertambahnya tahun menandakan bahwa kita bertambah dewasa. Bertambah pintar akan kecerdasan. Bertambah tampan atau menawan. Bertambah mengerti tentang kehidupan. Membuat kita tahu akan hampir segala hal.

Jantungku berdegup kencang. Detaknya tak dapat kuperlambat. Karena tidak mungkin juga kuhentikan. Sepanjang perjalananku dari kamar menuju kamar ayah dan mamah, terasa sangat dekat. Seperti hanya berjarak satu langkah. Yang nyatanya adalah berbeda satu lantai. Padahal, ingin rasanya kuperlambat saja langkahku. Atau, kalaupun bisa. Kujauhkan jarak saat ini dari jarak yang sebenarnya. Tapi tentu itu tidak masuk akal. Memperlambat langkah, itu hal yang lebih masuk akal. Tapi sangat tidak sopan membuat orang tua menunggu. Aku mengerti itu.

Iringi Aku HIJRAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang