[2]

152 25 3
                                    

Sunyi.

Gelap.

Tak ada lampu, tak ada cahaya matahari, pula.

Tak ada penerangan, sama sekali.

"Kau ini bodoh, ya?! Sudah mengerti masih dipaksakan, dasar bodoh! "

Kiirei hanya termangu. Mendengarkan caci dan makian yang ditujukan untuk dirinya dengan seksama. Dengan ragu-ragu, ia mencoba membuka mulut.

"Gomennasai.... "

Terdengar dengusan kesal dan suara berdecih dari lawan bicaranya.

"Jangan minta maaf padaku, minta maaf pada tubuhmu itu."

"Gomen ne.. "

...

Ini... dimana?

Mataku berkedip. Sekali, dua kali.

Ruangan nuansa pucat pasi ini benar-benar tampak menyilaukan.

Radar cahaya mulai masuk berangsur-angsur kedalam penglihatan ini, keadaan semakin terlihat jelas.

Aku melirik ke arah telapak tangan kecil milik tubuh ini, mengamatinya sebentar.

Aku sadar sekarang. Ternyata ini yang aku lupakan tadi siang saat penilaian lari estafet jam olahraga telah usai. Parah, aku benar-benar baru ingat.

Dengan suara lemah, aku mencoba berbicara pelan, "nii-san, ugh, aku belum sempat mencuci botol minum anggota klub... "

Aku menoleh kearah Keiji yang duduk di samping ranjang.

Keiji menatapku balik dengan tatapan datar- dingin, tatapan khasnya. Jarinya terangkat mendekat kearah kening, menjitak secara perlahan, namun, tetap saja terasa sakit.

"Ittai!"

Aku cemberut.

"Kau ini sudah gila, ya, ada yang bahkan lebih penting daripada hal itu dasar bodoh. "

Kulihat, ia melipat kedua tangannya.

Oke. Ini situasi yang nampak serius. Aku lebih baik diam saja. Salah bicara sedikit saja bisa merusak momen serius.

Muka Keiji terlihat dua kali lebih datar dari biasanya. Menyeramkan.

Mirip sekali dengan seorang pria dewasaーah, apa pantas dikatakan sebagai orang dewasaーyang selalu menatap punggung wanita berambut hitam panjang itu...

... hei, benar juga, kenapa malah jadi kepikiran sampai situ?

Keiji masih memandangiku dengan tatapan tajam. Sepertinya ia akan memulai sesi interogasi, dilihat dari bibirnya yang terangkat secara perlahan.

Aku menghela nafas, pelan, bersiap akan semua pertanyaan yang akan dipertanyakan untukku, seperti biasanya.

"Masih pusing? "

Pertanyaan pertama, ku sambut dengan gelengan.

"Bagian dari tubuhmu ada yang terasa sakit? "

Lagi, kepalaku menggeleng.

"Kau tidak sedang datang bulan, kan? "

Aku menggeleng untuk ketiga kalinya.

"Kau... Jangan bilang kau lupa memakan...obatnya, lagi-lagi? "

Keiji menatap dengan tatapan agak jengkel, mendapati ku yang malah meringis tidak jelas kearahnya.

Eh, tapi aku berani bersumpah, aku lupa jika ada obat yang harus masuk kedalam pencernaan secara rutin akhir-akhir ini. Tapi yang lebih jelas lagi, aku harus segera meminta pengampunan padanya dikarenakan kepikunan di masa muda.

Eh, tapi sepertinya tidak usah?

Kulihat wajahnya yang kusut tadi berangsur tenang, menjadi tampak kalem seperti wajah yang biasa ia tunjukkan pada semua orang.

"Kau baik-baik saja, kan?"

Aku mencoba tersenyum, lalu mengangguk kecil.

"Lihat aku, tentu saja aku terlihat baik-baik saja, kan?"

Aku tahu.

Kakakku ini, bukanlah seorang tsundere, ataupun siscon. Dia jelas merasa khawatir.

Jawabanku barusan, disambut pelukan hangat dan usapan di kepala, bisa terlihat, ia menahan diri agar tak menangis.

"Dasar... "

Ini tulus. Lebih dari apapun. Lebih dari ketulusan dua sosok yang pernah jadi lentera hanya sesaat sebelum benih tumbuh menjadi bibit kecil.

Mereka tak pernah sedamai seperti ini sekarang. Tak pernah seharmomis ini.

Situasi tak pernah mendukung keutuhan kami, sama sekali tidak.

Maka kalau boleh memaksa kepada Tuhan, aku akan minta waktu untuk selamanya begini saja.

Jika pun harus segera pulang kerumah sekarang, tolong jangan hadirkan mereka.

Aku....

...sama sekali tak mengharapkan kehadiran keduanya.

...

"Sebentar lagi kamp pelatihan musim panas, ya?"

"Iya."

Sambil berjalan pulang, kami sibuk mengobrol, mencomot sembarang topik agar perjalanan tak terasa melelahkan.

"... Ingin ambil cuti dari kegiatan manager.. " Aku bergumam sangat pelan.

"Hm? Tidak masalah, itu jatah liburan musim panasmu."

Aku menoleh ke arah Keiji. Seriusan dia dengar suara kecilku?

"Hontou?! " Aku mencoba memastikan, siapa tau aku salah dengar, dan jika iya itu sangat tidak lucu.

Keiji tersenyum tipis kearahku.

"Tentu saja, kau sudah banyak membantu. Masih ada  Shirofuku dan Suzumeda yang membantu kami. "

Aku tersenyum lega. Ternyata aku tidak salah dengar.

"Sudah lama sekali tidak ke rumah nenek, terakhir kali waktu kelas satu SMP, itupun hanya sehari, jadi sepertinya aku akan menghabiskan waktuku disana. "

Keiji tersenyum, merangkul pundakku.

"Nice idea. "

Aku tertawaー sesaat sebelum akhirnya tawaku berubah jadi segetir perasaan ganjil.

Tunggu sebentar.. Apa aku salah lihat sesuatu? Tidak mungkin aku salah lihat, kan?

Aku memakai kacamata dengan benar, menatap lagi kedepan dengan kedipan tak percaya berkali-kali.

Apa minus mataku bertambah?

Ini.. tidak mungkin... Ini pasti ilusi.

Lampu rumah menyala terang.

Dua mobil terparkir sembarangan di arah yang acak.

Mereka pulang.

--
Next?

Jangan lupa vote untuk support:)

terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca wkwk:"D

(r/m)iddle | Fukurodani x InarizakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang