Beberapa siswa bergidik ngeri, menunggu nama mereka masing-masing dipanggil dari depan.
"Akaashi Kiirei. "
"Haik."
Aku berdiri, berjalan kedepan dan mengambil hasil ujian matematika yang telah berlangsung beberapa hari yang lalu.
Akabane-sensei menyodorkan kertas dengan coretan tinta merah di beberapa area.
Jujur saja, aku juga merasa gugup ketika harus mengambil nilai matematika ini.
"Selamat. Nilaimu tertinggi lagi. "
Sensei tersenyum, disambut sorakan dari teman-teman semua.
"Woah, nice kill, Rei-san! "
Aku tersenyum ragu, lalu menerima kertas itu.
Angka sembilan puluh enam menghiasi pojok kanan atas, digoreskan dengan tinta merah, lengkap dengan emotikon senyum khas Akabane-sensei.
Aku menunduk sedikit lalu kembali ke bangku ku.
"Yak, selanjutnya... "
Beberapa siswa saling berbisik-bisik kecil, entah membicarakan apa.
Yang aku tahu, aku tidak akan selamat jika membawa pulang nilai seperti ini. Ya, tidak mungkin selamat dari seorang ambisius yang ku panggil 'Papa'. Orang yang merawatku untuk tujuan dan kesenangan pribadinya; pelampiasan impian yang tak berhasil ia laksanakan.
Tluk!
Ada lemparan bola-bola kertas, lemparan yang agak brutal dari arah belakang, membuyarkan lamunanku tentang kekejaman apa yang akan terjadi nanti dirumah.
Aku menoleh ke belakang.
"Rei-channnn kamu harus mengajariku tentang materi ujian kemarin, aku tidak paham apa-apa.... "
Furui menatapku dengan tatapan memelas.
Setelah perbuatannya akan pembicaraan kucing Rusia jelek, menghabiskan bekal yang kubawa, bahkan sampai memamerkan keuwuan- masih saja mau merepotkan ku?!
Yabai.
Aku menghela nafas perlahan, lalu menatapnya dengan tatapan datar.
"Iya, dan tolong hentikan tatapan mu itu. Tidak enak dilihat. "
Furui mengerutkan keningnya, hendak protes.
"Hidoi, Rei-channnn! "
"Naomi Furuichi, tolong jangan berisik saat pembagian nilai. " Suara Akabane-sensei terdengar menggelegar dari arah depan.
Furui takut takut menutupi wajahnya dengan buku matematikanya.
"Gomen, sensei! "
Aku tertawa. Walaupun Furui adalah anak yang berisik, menyebalkan, dan merepotkan, tapi serius, dia anak yang benar-benar baik dan lucu. Ralat. Teman yang sangat baik.
"Jangan tertawa, Rei! " Furui menatapku dengan tatapan tajamnya, dan aku seperti biasa menampakkan wajah datar ku. Wajahnya itu sama sekali tidak mengerikan, justru terlihat menggemaskan.
"Kau diam saja, wahai manusia. Di omelin Akabane-sensei baru tau rasa. "
Furui menggeleng cepat, bergidik ngeri membayangkan kemarahan besar dari guru berambut merah itu.
"Aku kalem aku diam. "
Kali ini furui benar-benar diam, bahkan sampai bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Yah, walaupun itu hanya sekitar 15 menitan menuju bel terakhir, tapi itu waktu yang cukup lama untuknya pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
(r/m)iddle | Fukurodani x Inarizaki
Teen FictionBagaimana bisa beberapa jiwa terhubung melalui untaian kata? Akaashi Kiirei, tenggelam dalam riddle yang terus bermunculan dalam harinya yang kelam. Bertemu dengan dua rubah yang juga tersesat di dalam teka teki adalah sebuah kebetulan. Kebetulan...