[8]

72 16 5
                                    

Bruk!

Aku menjatuhkan diri di atas sofa, meletakkan tas ke sembarang tempat.

"Hari yang melelahkan—"

Keiji mengernyit, sedikit kesal melihat tingkah adiknya yang urak urakan.

"Rei, jangan taruh tas di sembarang tempat. Nanti kamu lupa mengembalikannya ke kamarmu. "

Aku mendelik malas, masih tiduran seenaknya di atas sofa.

"Impossible, aku tidak pelupa. "

"Nyeh, terserah, lah, jangan lupa dibereskan, tempatnya. "

"Hmmm iyaaaaaa-"

Aku memainkan handphone malas malasan, membuka chat. Kosong, hanya beberapa pesan tidak penting masuk kedalamnya.

Aku membuka profil kontak "Haiba Lev meng 🍙".

Ada tulisan merah " Buka blokir ".

Ah iya, aku belum membuka blokiran nya.

" Dasar kucing sialan bisa bisanya dia seperti tidak melakukan kesalahan apa apa?! "

Aku kesal. Tadi ketika bertemu, sikapnya tetap baik walau aku tidak banyak menanggapi. Dan, seakan "masalah" itu benar-benar tidak pernah terjadi. Seakan lenyap atau memang hanya aku yang terlalu keras memikirkannya?

Aku mengacak rambutku sendiri. Kalau nii-san lewat didekatku pasti dia akan mengataiku 'gila' atau semacamnya.

"Dasar tidak waras. "

Tuh kan. Tuh kan. Tuh kan. Tuh kan. Tebakanku benar.

Aku melotot.

"Apa salahnya bertemu pacar sendiri secara tidak sengaja sih? Kau itu terlalu overthinking. "

Aku cemberut. Tidak suka dengan topik ini walaupun benar adanya kalau daritadi aku memang sedang memikirkan hal ini.

"Nii-san tidak mengerti, diam saja. "

Keiji menanggapi dengan wajah kalem alias datarnya, ikut duduk di seberang sofa.

"Owh. Iyain aja biar hayaku. "

"Y. "

Setelah itu tidak ada percakapan.

Aku sibuk overthinking sambil memandangi kontak "pacarku" sedangkan Keiji sibuk memakan onigiri yang di belikan "pacarku" di supermarket sepulang dari cafe tadi.

I think i should do nothing.

Terlalu lelah berpikir, aku angkat kaki dari ruang keluarga, beranjak naik ke tangga hendak tidur di kamar.

Saat melangkah, kupikir ada sesuatu yang salah. Is there something wrong? Sepertinya aku kelupaan sesuatu? Ah sudahlah, aku sedang malas berpikir.

Menerobos anak tangga menuju tak terbatas (kamar) dan melampaui nya.





....





"Kau mau membantah apa lagi, Keiji?! Sudah kubilang ekskul voli mu itu membuat nilainya menurun! "

Aku mengerjapkan mata. Gelap. Pukul berapa ini? Siapa yang teriak-teriak di kala aku sedang tertidur begini?

Aku bangun dari tidurku, mengecek jam pada gadget tipis yang tergeletak manja di atas meja.

Pukul 21.37 dan itu tandanya, itu adalah suara manusia yang kemarin pergi dari rumah seenaknya.

"Keiji?! Kau dengar aku tidak?! "

Aku bergegas bangun dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa.

Ada masalah apa lagi manusia itu dengan-

Plak!

Aku terduduk lemas ketika sampai dibawah. Keiji ditampar keras oleh pria dewasa di depanku.

"Nii-san—"

Orang yang sempat kupanggil Papa itu menoleh kearahku, menatap tajam.

Isyarat matanya menyuruhku untuk diam.

Ia menyeret tas ku dengan kasar, mengambil isinya dan menunjukkannya ke arahku.

Aku menyesal melupakan tas hitam itu tergeletak sembarangan di ruang keluarga. Cih.

Ia marah dengan nilai matematika yang aku dapat hari ini, padahal aku sudah berusaha keras untuk mencapai poin kepala sembilan, tapi kenapa masih saja—

Srak

Kertas ulangan ku disobek menjadi dua bagian.

"Kau pikir kau sudah berhasil?! Kau anggap kau sudah berusaha?! "

Aku menatapnya dengan tatapan kosong.

Rasanya menyakitkan ketika usaha kerasmu seakan dianggap tidak ada sama sekali.

Tahan, jangan menangis, tahan dulu. Tahan.

Srak

Kertas disobek lagi, menjadi lebih kecil dari ukuran semula.

"Dasar kecoa dungu! Bodoh! Sesulit itukah mendapat nilai sempurna?! "

Tahan. Jangan marah. Jangan emosi. Aku harus bisa menahannya.

Srak

Kertas menjadi semakin kecil, lalu dilemparkan kasar kearah mukaku.

"Dasar manusia bod—"

Plak!

Aku  cukup terkejut melihat pemandangan ini.

"Dasar lelaki tua bajingan! Pergi! "

Setelah menampar Papa dengan sekuat tenaga, keiji memakinya, untuk pertama kalinya.

Papa terlihat sangat emosi hendak memukul balik anak lelakinya.

Aku mendorong Keiji menjauh dari Papa.

"Papa, tolong, sudah cukup. "

"Cih! "

Papa memakai kembali jas yang tadi ia sampirkan di sofa, mengambil kunci mobilnya dengan kasar pergi keluar rumah dengan salam khasnya ketika ia pergi dari rumah dengan tidak damai, membanting keras pintu hingga timbul suara yang menyakitkan untuk didengar.

Aku kembali terduduk lemas, sabil mengumpulkan potongan kertas yang berserakan di mana-mana. Tangisku juga mulai turun perlahan tanpa perintah.

Keiji menepuk punggungku, seakan menyuruhku untuk tetap tabah, kemudian ikut mengumpulkan kertas yang tercecer.

Apa tidak bisa sehari saja aku mendapatkan ketenangan?

Tring!

Bunyi notifikasi terdengar keras dari handphone milik Keiji.

Aku menoleh, sambil mengusap mata yang sembab.



Ini tidak mungkin jadi pertanda yang lebih buruk lagi, kan?



-----



Hewwo masih bersama saia penulis cerita yang bobrok ini *˙︶˙*)ノ

Apa kabar? Semoga baik ya

Udah ga tau mau ngetik apa lagi

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca (≧∇≦)/

Jangan lupa vote sama comment biar aku lebih rajin le ngetik cerita ಥ‿ಥ)  /hilih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(r/m)iddle | Fukurodani x InarizakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang