*

36 9 4
                                    

Ketika aku kecil, ayah selalu mendongeng sebelum aku tidur. Dongengnya tentang pelangi dan tujuh bidadari cantik. Aku percaya pada cerita ayahku, bahwa setiap hujan yang disertai matahari, pasti diikuti kemunculan pelangi. aku sangat menyayangi kedua orang tua ku, terutama ayahku karena ayahku lah yang selalu menggendong ku ketika aku tidur di depan tv dan membawaku ke kamar. Tapi di hati kecilku aku kasihan pada ayah karena demi aku ayah bekerja keras agar aku bisa hidup menikmati keindahan dunia. Pelangi dan tujuh bidadari salah satu dongeng kesukaan ku. Setiap menjelang tidur ayah selalu mengantar tidur dengan dongeng apa saja.
"setiap pelangi muncul, di ujungnya tujuh bidadari turun ke bumi. Mereka mandi di sebuah danau".
" Biasanya danaunya di mana, yah?
" Danaunya di tengah hutan"
" Danau tempat bidadari itu pasti indah..."
" Ya betul sekali. Nama Danaunya Telaga Warna. Airnya berwarna- warni. Saat ketujuh bidadari itu mandi, air danaunya berubah menjadi warna-warni seperti pelangi. Dan danau itu dijaga oleh para jin".
" Para jin yah!".
" Iya, tapi jin nya baik."
" Emang jin ada yang baik ya yah?"
" Oh, ada. Dia baik sama anak-anak. Tapi, saat itu ada manusia yang mencuri selendang seorang bidadari."
" Siapa manusia itu yah? "
" Manusia itu adalah Jaka Tarub".
" Emang jin itu takut ya yah sama Jaka Tarub? "
" Takutlah, karena Jaka Tarub itu orang yang sangat sakti".
" Terus gimana lagi yah ceritanya.."
" Saat bidadari hendak pulang, salah seorang bidadari kehilangan selendangnya. Dia tidak bisa terbang pulang ke kayangan.
" Kok Jaka Tarub nya jahat si yah.."
" Dia tidak jahat. Tapi dia jatuh cinta pada salah satu bidadari itu. Dengan Jaka Tarub mencuri selendang, bidadari tidak bisa pulang ke kayangan, Sehingga bidadari itu pun menikah dengan Jaka Tarub dan bisa hidup di bumi bersama-sama. Setelah Jaka Tarub menikahi sang bidadari itu Jaka Tarub mempunyai anak. Tapi suatu hari, si bidadari menemukan selendang nya, yang disembunyikan oleh Jaka Tarub di lumbung padi."
" Terus gimana yah?"
" Si bidadari pun kembali pulang ke kayangan."
" Lalu anak dan Jaka Tarub bagaimana yah?"
" Anak Jaka Tarub itu di titipkan kepada harimau, si raja hutan. Sedangkan Jaka Tarub kembali kehutan dan menunggu datangnya hujan di saat panas. Dia yakin, akan muncul pelangi dan menunggu bidadari turun ke bumi. Padahal itu adalah pelangi terakhir tak akan adalagi bidadari yang turun ke bumi."
" Kasihan si anak yah, dia tidak punya ayah dan ibu."
" Begitulah hukumnya bagi Jaka Tarub, karena sesuatu yang kita dapat dengan kebohongan atau dengan cara yang licik tidak akan berakhir bahagia. Anak yang tidak berdosa pun terkena imbasnya. Bagaimanapun manusia tidak akan bisa disamakan dengan bidadari karena dunianya berbeda, seperti peribahasa bagaikan air dengan minyak."
Malam itu hujan terus mengguyur desa ku mulai pukul 16.00. Ayah terus melanjutkan ceritanya sampai aku terlelap. Hingga suatu pagi, cuaca yang dingin dan di selimuti hujan lebat aku pun terbangun. Aku lihat ibuku yang sedang membuat pisang goreng dan ayahku sedang menjaga kakaku tidur. ketika aku melihat di jendela dapur.
" Ibu air sudah mau naik ke rumah kita."
" His, jangan bicara seperti itu. Gak boleh."
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Ayah dan ibu ku mulai panik. Ternyata suara itu adalah suara gentong yang meledak karena di terjang air.
" Bawa anak-anak keluar dari rumah ini!"
Kemudian ibu membawa aku dan Kaka ku keluar rumah, sementara ayahku berusaha menyelamatkan harta dan benda lainnya.
Aku melihat semua orang sudah panik, ada yang menangis ada yang lari dan ada yang bergotong royong menyelamatkan warga lain. Kemudian Kaka ku menangis memanggil ayah.
" Ayah!!"
Ayah ku pun berhenti mangangkuti barang-barang dan langsung memeluk kami.
" Nak rumah kita hancur, istana kecil yang ayah dan ibu bangun untuk kalian sudah tidak ada."
Ibu ku pun menangis dan berkata.
" Tidak apa-apa yah. nanti kita bisa bangun lagi istana kecil kita, yang penting kita semua selamat."
Banjir itu berlangsung selama satu jam. Akibat banjir itu puluhan warga yang kehilangan harta benda dan tempat tinggal. Waktu itu banjir yang menerjang desa ku di kategorikan sebagai tsunami. Sehingga banyak bantuan yang di salurkan untuk para korban tsunami. Mulai dari baju, sembako dan perlengkapan lainnya.
Selepas banjir itu aku dan keluargaku tinggal di rumah nenek. Hidup yang awalnya merasakan kebebasan tinggal di rumah sendiri harus berubah dengan tinggal di bawah tekanan batin. Sama seperti peribahasa bagaikan tidur di atas duri.
Seminggu setelah tsunami, ayah dan ibu mengajakku ke kebun. Sementara Kaka ku tinggal bersama nenek karena masih harus sekolah. Ayah dan ibu bermaksud ingin mencari sinar yang terang agar bisa membangun istana kecil kembali. Tapi sayang cobaan terus menerus datang menerjang keluargaku. Dua Minggu setelah tsunami, rumah nenek ku di telan si raja merah yang melahap seluruh bagian dari rumah nenek. Beruntung tidak ada korban jiwa. Setelah mendengar kabar itu ayah dan ibu ku langsung menangis.
" Bagaimana nasib anak ku." Kemudian orang yang membawa kabar itu menjelaskan bahwa tidak ada korban jiwa, dan Kaka tidak apa-apa. Aku bersama ayah dan ibu langsung berangkat menjemput Kaka. Sesampainya di lokasi, hati ku hancur melihat Kaka yang dipeluk ayah dan ibu dengan pakaian yang kotor akibat kebakaran. Dari kejadian itu ayah dan ibu ku menitipkan Kaka dengan bibi, ayah dan ibu ku sebenarnya tidak percaya jika Kaka harus hidup dengan orang lain, karena menurut ibu dia tidak akan mendapat perlakuan yang layak mulai dari makan, tidur dan kebahagiaan lainnya. Tapi harus bagaimana lagi orangtuaku ingin mencari sinar yang terang demi kebahagiaan di masa yang akan datang.
" Tidak apa-apa jika Kaka harus hidup dengan orang lain untuk sementara waktu ( kata ayah)."
Terasa sangat berat ketika melihat Kaka yang harus jauh dari orang tua dengan usia yang masih kecil. Tapi waktu terus berlalu, hingga tiba waktunya aku akan menginjak kelas 1 ( satu ) SD. Ayah dan ibu ku memutuskan untuk membangun istana kecil kembali di desa yang sama namun tempatnya berbeda. Istana kecil waktu itu belum mempunyai benteng yang kuat untuk menahan terjangan angin. Tapi ibu sudah tidak bisa menahan sakitnya tinggal di rumah orang. Jadi mau tidak mau kami sekeluarga harus pindah ke istana kecil yang baru. Hari terus berlalu istana kecil itu terus mendapat perbaikan, yang semula tidak ada penahan angin kini sudah memiliki penahan angin bahkan penahan badai pun sudah ada.

Malaikat Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang