Part 4

107 23 0
                                    

Sampai di stasiun Tugu, Sei berpisah dengan Awan dan Dimas. Ia segera bergegas ke indekosnya dan bersiap menyusul Aldi serta yang lain di tongkrongan mereka. Sei seperti tak merasa lelah. Ia butuh asupan bergaul dengan orang-orang itu lagi.

Penampilannya kali ini tak terlalu mencolok. Hanya kaos biasa dipadukan dengan jeans panjang dan sepatu kets warna putih. Rambut yang biasa ia cepol asal berubah menjadi kunciran ala pony tail. Bisa dibilang, ini bukan Sei yang biasanya.

Perempuan itu langsung disambut suitan saat sampai di sana. Setelah menghilang selama kurang lebih 4 hari, ia muncul dengan gaya berbeda di depan semuanya.

“Woeeyyy, kesambet apaan lo?”

Tanpa menjawab perntanyaan Pidi, Sei duduk di antara Aldi dan Dewa, sohibnya.

“Lo beneran, Sei?” Aldi memindai penampilan perempuan itu dari atas ke bawah.

“Tomboi salah, girly salah. Serba salah hidup gue.”

“Lo hidup aja udah salah,” cibir Dewa mendapat pelototan tajam dari Sei. “Eh, bercanda. Ya elo tiba-tiba berpenampilan aneh gini. Gue masih inget terakhir kali lo bilang kalo penampilan girly itu menjijikkan, Sei.”

“Anggep aja gladi resik sebelum pameran.” Sei mengangkat bahunya. “Bagi rokok, Fer. Udah seminggu nggak nyebat gue.”

Ferdi melempar sebungkus rokok pada Sei. Perempuan itu mengambil selinting lantas menyulutkan api di ujungnya.

“Kebiasaannya tetep aja nggak berubah,” gerutu Aldi.

“Yang penting lukisan gue otw jadi,” balas Sei tenang.

“Gambar apa lo emang?”

“Tunggu aja entar. Jangan kaget.”

🍁🍁🍁

Gedung serba guna kampus sudah ramai sejak subuh menjelang. Perlengkapan sana-sini ditata seapik mungkin untuk pembukaan pameran tepat pukul 8 pagi nanti. Para panitia terlihat sibuk dengan tugas masing-masing. Meski segala sesuatunya sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari, namun mereka tak ingin ada kesalahan sedikit pun.

Display-display pameran yang beberapa di antaranya belum terisi karya mahasiswa, menjadi salah satu penyebab kehebohan yang terjadi.

“Siapa yang mesen display ini? Kok belum ada karyanya?” sentak Vigo yang tak lain tak bukan adalah ketua panitia.

“Itu jatahnya Seiya, Go,” jawab salah satu panitia.

“Tomboi urakan itu? Dia ngerti peraturan pameran nggak, sih? Karya udah harus ada minimal sehari sebelumnya. Mentang-mentang udah pernah masuk galeri nasional dia bisa seenaknya, gitu? Ini udah jam 6 pagi loh. Jangan gila. Cepet hubungin dia.”

Laki-laki yang tadi berhadapan dengan Vigo segera membuka ponselnya dan mencoba menghubungi Seiya. Tak ada respon sama sekali. Bahkan nomor gadis itu tidak aktif.

“Gimana?” Vigo menaikkan sebelah alisnya.

“Nggak aktif, Go.”

Pemuda itu berdecak keras. “Coba hubungi terus. Gue mau sebelum jam 7 karya dia udah harus ada di sini.”

“Dayu!” Vigo memanggil seorang perempuan berambut panjang yang berdiri beberapa meter darinya.

“Apa?” Dayu menjawab tanpa menghampiri pemuda itu.

Display depan lo juga masih kosong?”

“Iya. Ini gue lagi nyari data karya siapa yang seharusnya ada di sini.” Perempuan itu membolak-balikkan buku besar di tangannya.

Amor Patriae [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang