“Kontradiksi itu bakal selalu ada. Apalagi kalo masalah pendapat. Feminisme emang harus ditegakkan karena sejatinya kedudukan cewek sama cowok itu sama. Nggak usah jauh-jauh bahas Aristoteles sama Plato. Raden Ajeng Kartini aja sampe mati-matian perjuangin hak wanita, kan?”
Sei mengangguk paham sambil menyesap kopinya yang masih panas.
“Tapi balik lagi, cewek sama cowok punya kewajibannya masing-masing. Ada batas-batas nggak kasat mata yang sejatinya nggak boleh dilanggar. Mau sejauh apa lo ngelak, cewek tetap calon Ibu. Di mana pun mereka berada. Udah sepantesnya lo bentengin diri sendiri dari hal-hal yang bisa ngerugiin lo di kemudian hari.”
“Iya, gue paham. Nggak bakal ngerokok lagi. Tapi kalo nongkrong sama anak-anak, wajib hukumnya buat gue. Selama status gue masih available, gue masih bisa haha hihi sama kalian, dong?” balas Seiya.
“Woi!” teriak seseorang yang baru datang.
“Anak-anak pada poto bareng, mumpung masih pada pake toga. Kalian berdua malah nongki di kantin.”
Sei terkekeh sejenak. Ia beranjak dan berjalan agak kesulitan karena kebaya yang dipakainya. Ia menghampiri Dewa. Lelaki itu yang tadi menginterupsi perbincangan Sei dengan seorang lelaki.
“Okedeh, ayo kita balik ke sana dan poto bareng.”
Sei beralih ke arah belakang lawan bicaranya tadi dan mendorong kursi roda yang diduduki lelaki tersebut.
“Let’s go! Pelukis Dies Faustus, Amor Patriae, dan si penyumbang ide harus poto bareng di hari spesial ini. Kelulusan kita bertiga.”
🍁🍁🍁
The End!
.
Bener, kan, cuma 5 part. In other side, sebenernya aku pengen ngembangin cerita ini jadi novel juga. Apa yak? Masih banyak yang pengen aku kupas, baik dari sisi pemikiran Seiya maupun pelosok-pelosok Karimunjawa.
Lihat ntar lah. Wkwkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amor Patriae [COMPLETED]
Short StoryShort Story Hanya sebuah cerita pendek yang akan membawamu pada pemikiran anti mainstream. Bagaimana jika feminisme dibalut dalam kisah perjalanan lintas budaya, sketsa, persahabatan, percintaan, juga filsafat? Let's find it together! Ini bukan cer...