Hari selanjutnya, mereka berempat memutuskan pergi ke pulau Tengah. Tujuannya tak lain tak bukan untuk kembali melakukan diving dengan pemandangan bawah laut yang berbeda. Tempat itu memiliki hard coral dan sea anemone yang menjuntai. Di sana juga dapat ditemukan aneka ikan lucu seperti clown fish.
Lagi-lagi Sei hanya memperhatikan ketiganya dari atas boat. Tujuannya ke sana memang murni mencari inspirasi, bukan liburan. Sesekali matanya beralih ke kanvas di pangkuannya. Garis-garis itu tetap abstrak, belum membentuk objek apa pun.
“Sei, ayolah ikut turun. Nggak asik banget jauh-jauh ke sini cuma buat gambar doang.” Dimas menghampiri dengan berenang mendekati boat.
“Kemarin juga waktu kita pada renang sama hiu lo cuma lihat dari atas kolam penangkaran.”
“Gue belum tau lukisan gue bakal bermuara ke mana. Lagian, gue ke sini kan cuma nyari inspirasi,” ujar Sei sambil meletakkan kanvas di sampingnya.
Dimas masih berenang di permukan air laut.
“Ikannya bagus-bagus, loh. Beneran nggak mau turun?” bujuknya.
Sei hanya mengedikkan bahu kemudian menggeleng. Ia menyelupkan jari-jarinya ke air dan mulai menyipratkannya ke arah Dimas.
“Jail juga lo, ya!” cibir lelaki itu.
Tanpa sepengetahuan keduanya, Awan mulai naik ke atas boat. Dengan air laut yang masih menetes, lelaki itu sengaja menghampiri Sei.
“Asik banget lo berdua,” sela lelaki itu sambil duduk di samping Sei.
Kedua orang itu mengalihkan atensinya pada Awan.“Kok udah naik?” tanya Dimas dibalasi anggukan oleh teman seperjuangannya itu.
Sei menatap Awan dengan tajam setelah menyadari apa yang sebenarnya dilakukan oleh lelaki di sampingnya.
“Ternyata haha hihi lo nggak menjamin kebahagiaan, ya, Wan! Gue jadi inget pernyatannya Aristoteles tentang tiga bentuk kebahagiaan.”
Dimas masih berenang di permukaan air dengan bingung. Awan yang merasa tersindir hanya bisa diam sambil mengepalkan telapak tangan. Ia masih menunggu Sei kembali berbicara.
“Pertama, hidup senang dan nikmat. Lo nggak punya itu karena hidup lo penuh dendam. Kedua, menjadi warga negara yang bebas dan bertanggung jawab. Gue aja nggak yakin lo mau tanggung jawab atas kesalahan lo. Ketiga, menjadi seorang ahli pikir dan filosof. Lo juga nggak mencerminkan itu. Abisnya lo nggak bisa berpikir jernih.” Sei diam sambil mengangkat bahunya.
“Kalian berdua kenapa, sih?” Dimas mulai menyuarakan kebingungannya.
“Kanvas gue rusak karena temen lo. Dan itu disengaja, gue tau itu.” Sei beranjak dan memutuskan beralih ke arah dek boat. Mood gadis asli Pekalongan itu hancur seketika. Kanvasnya sengaja diduduki oleh Awan.
Dimas menatap Awan dengan pandagan tajamnya. “Gila, lo.”
🍁🍁🍁
Hari terakhir berada di pulau kecil itu, Sei dan rombongan memutuskan untuk mengunjungi pantai Tanjung Gelam. Pantai yang terkenal dengan pasir putih dan pohon nyiurnya yang berjajar rapi itu seakan mengucapkan selamat tinggal pada Sei dan kawan-kawan.
Senja sore itu sangat sempurna bagi keempatnya. Ditambah dengan buah kelapa di tangan masing-masing serta belaian pasir lembut di telapak kaki mereka. Sesekali Sei menyedot air kelapa dan kembali memfokuskan pandangan ke langit bermega kemerahan.
“Sei, gimana sama lukisan lo?” tanya Dimas. Ia merasa sangat bersalah akan perlakuan Awan pada gadis tomboi itu.
“Udahlah, santai aja.” Sei berdiri dari duduknya dan menepuk-nepuk pasir di celana bagian belakang. “Gue bisa gambar lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amor Patriae [COMPLETED]
Historia CortaShort Story Hanya sebuah cerita pendek yang akan membawamu pada pemikiran anti mainstream. Bagaimana jika feminisme dibalut dalam kisah perjalanan lintas budaya, sketsa, persahabatan, percintaan, juga filsafat? Let's find it together! Ini bukan cer...