Kelam malam berhasil menguasai kamar berukuran 3x3. Hanya sedikit cahaya rembulan yang masuk lewat sela-sela gorden. Cukup untuk menyinari anak laki-laki yang berguling ke kanan dan kiri berkali-kali.
Tubuh Nanda yang gemetaran bermandikan keringat. Kaus tipisnya pun turut basah dibuatnya. Anak itu tak berhenti mengerutkan kening dan mencengkeram selimut.
"Ah ...."
Tangannya beralih meremas betis. Ia bahkan memukul area yang sama berulang kali. Degup jantungnya semakin terpacu hingga udara semakin sulit diraih. Dadanya sesak dan napasnya terengah-engah.
Air mulai menetes dari pelupuk, meski matanya masih terpejam. Ia pun meringkuk, memeluk lututnya erat-erat. Perlahan tubuhnya melemas, lelah karena bergelut terlalu lama.
Namun, Nanda masih menggigil. Getaran yang ia hasilkan berhasil mengusik lelap sang kakak yang ada di sampingnya. Dengan kantuk yang luar biasa, tubuh itu bergerak mendekat.
"Nda?" panggilnya lembut.
Tak ada respons yang berarti. Tubuh itu tetap miring ke kanan, membelakanginya. Nanda masih memeluk diri dengan gemetar yang sama. Spontan, Dian meletakkan punggung tangannya ke dahi sang adik. Panas, rasa yang ia rasakan kini menjalar ke bulu kuduk.
Ia menyibak selimut Nanda dan berjalan menuju lemari. Diambilnya kain panjang nan tipis yang disimpan di bagian paling bawah. Dian menutup tubuh kurus sang adik dengan kain tersebut, sesuai ajaran kakaknya-Dina.
"Nda," Dian mengusap punggung dan lengan Nanda, "mau minum dulu?" tawarnya.
Sang empunya nama menggeliat. Ia hanya menggeleng tanpa mengucap apa pun. Tak hanya dahinya yang panas, tenggorokan pun sama. Sensasi ini membuat matanya lengket dan lidah pun kelu.
Dian mengangguk lalu kembali berbaring. Dilihatnya punggung si bungsu yang semakin ringkih setiap harinya. Embusan napas panjang pun lolos begitu saja.
Mata laki-laki itu lekat menatap tubuh yang masih saja resah dalam lelapnya. Binarnya berubah sendu kala kembali menelan ludah. Bahkan bibir bagian dalamnya telah tergigit tanpa sadar.
Dian mendekatkan diri. Didekapnya tubuh Nanda dari belakang. Ia bahkan menenggelamkan wajahnya di punggung sang adik. Hawa panas itu sontak menyapa hingga membuatnya bergidik.
"Ng-ngapain sih, Mas?" kesal Nanda dengan suara seraknya. Sisa tenaganya ia pakai 'tuk menyingkirkan tangan Dian. Ia tak suka sensasi menggelikan yang hadir di area perutnya.
"Diem aja."
Bukannya menurut, Dian malah mengeratkan pelukannya. Ia bahkan mencium leher Nanda dan menjadikan tengkuk adiknya sebagai bantal. Ia tersenyum senang saat berhasil mengunci kedua tangan anak itu.
"Terserah."
Nanda pun mendengkus. Ia tak ingin mengalah, tetapi tubuhnya enggan berdebat. Matanya kembali terpejam sebelum kokok ayam mengusik waktunya.
Meski dingin, jawaban Nanda cukup menghangatkan. Dian mengangguk lalu mengucap, "Met mimpi."
☘️☘️☘️
Denting sendok dan garpu beradu dengan siaran radio yang diputar dengan volume sedang. Nasi putih, sayur bening, dan lauk pauk sederhana perlahan lenyap dari piring masing-masing. Ruang makan itu menyisakan satu tempat yang tak berpenghuni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothersh!t ✔
General Fiction[Pindah ke Dreame] Kita tidak pernah meminta pada Tuhan: seperti apa wujud kita saat terlahir, lengkap atau istimewa? Dari kalangan mana kita berasal, kaya atau sederhana? Siapa yang merawat kita, orang tua atau orang lain? Keluarga Ananda ingin men...