|5|

3.9K 456 45
                                    

Gelap dan sepi. Begitulah suasana rumah keluarga Ananda sekarang. Maklum, hari sudah berganti dan malam belum turun dari tahtanya.

Nanda sangat menikmati dunia mimpinya. Ia sama sekali tak goyah. Bahkan saat Dian tak sengaja membiarkan kepalanya beradu dengan pintu, ia tak mengaduh. Bergerak pun tidak. Ia sudah seperti orang mati.

Dian melempar adiknya ke sofa. Ia tak sanggup kalau harus menggendong Nanda ke lantai dua. Walaupun ringan, berat Nanda akan berlipat ganda jika dibawa menaiki tangga. Kaki Dian sudah lelah bergelut dengan drum hari ini. Ia tak mau menyengsarakan diri sendiri.

"Akhirnya pulang juga."

Dian menoleh ke sumber suara. Dina menyalakan lampu dan menghampiri kedua adiknya. Wajahnya terlihat kuyu dan rambut yang tak kalah berantakan. Kalau dilihat dari penampilannya, Dina belum menyelami alam mimpi.

"Begadang lagi, Mbak?" tanya Dian.

Dina mengangguk. Tahun ini adalah tahun terakhirnya bergelut merebut gelar spesialis anak. Tak seperti Dian dengan Nanda yang hanya terpaut tiga tahun, Dina memiliki jarak yang cukup jauh. Dengan Dian sembilan tahun dan dua belas tahun dengan Nanda.

"Iya, biar cepet kelar. Gak dibawa ke kamar?"

"Hmm, kaki Dian masih pengen hidup, Mbak. Capek banget lo ini."

"Ya udah, ambil selimut sana."

Sungguh malas, tetapi Dian harus bergerak. Ia segera beranjak sebelum taring kakaknya keluar. Cantik dan santun milik Dina hanya muncul di permukaan. Wanita itu bisa berubah wujud seperti power ranger jika musuh menyerang.

Dina melepas kaos kaki yang masih menempel sempurna di kaki Nanda. Motif bunga dengan warna kuning sukses membuatnya terkikik. Sungguh selera yang payah. Ia selalu tertawa kalau Nanda mengenakannya.

Dina tak dapat menahan senyum. Nanda adalah seorang malaikat kalau tengah tidur seperti ini. Menawan dan tenang. Namun, ia akan berubah drastis kalau sudah meloncat ke sana-sini. Apalagi jika ditambah dengan Dian, rumah bisa pecah.

Poni Nanda membuat Dina gemas. Tangannya tak kuasa menyingkirkan rambut-rambut itu dari kening Nanda. Fokus wanita itu teralih saat mendapati hawa panas menyengat jemarinya.

"Kok panas?"

Dina meraba tangan Nanda. Dingin. Begitu pula dengan kakinya. Firasatnya mengatakan efek terlalu lama bermain dengan angin malam.

"Eh, ruam apa ini?" kagetnya saat selesai melipat kemeja Nanda. Ditatapnya lamat-lamat sambil mengusap. Ia lalu menggeleng, mengusir prasangka buruk.

Wanita itu mendengkus sebab adik pertamanya tak kunjung muncul. "Dian lama banget, sih!"

Geram. Dina tak tahan menunggu orang yang 'katanya' mengambil selimut tersebut. Jarak ruang tamu dengan kamar Nanda tidaklah jauh. Naik tangga semenit, dua menit dengan turunnya, tetapi Dian tak muncul-muncul bak mencari ke rumah tetangga.

"Kok lama bang--"

Dina kehabisan kata-kata. Tangannya refleks berkacak pinggang. Emosinya mendadak naik ke ubun-ubun dan mendidih dengan cepat.

Selimut yang harus ia terima untuk Nanda malah berubah fungsi menjadi bantal. Dian tertidur dengan posisi menungging yang sangat tidak elit. Sungguh, jangan katakan pada siapa-siapa kalau ia adalah adik Dina.

"Dian!!!"

☘️☘️☘️

Nanda menikmati ribuan tetes air yang terjun bebas ke kepalanya. Hawa lingkungan rumah saat ini tengah tak bersahabat. Terlalu panas dan membuat dehidrasi. Cara paling aman mengatasinya selain banyak minum air putih adalah mandi.

Brothersh!t ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang