Kamu ngapain di situ?
Nunggu Tuan Muda kelar latihan.
Nanda mendengkus. Sudah dua jam ia duduk manis dengan kaki menyilang dan tangan terlipat di depan dada. Lehernya mulai pegal dan merindukan bantal. Berkali-kali ia menengok sang kakak yang masih asyik dengan stik drum.
Masih lama?
Nanda refleks mengangguk, meski lawan bicaranya kali ini tak dapat melihat. Ia buru-buru menepuk jidat dan mengetikkan balasan. Status online dan centang biru itu seakan menghantuinya.
Harusnya enggak. Cuma nyewa tiga jam.
Setidaknya Nanda tak sendiri. Ia sangat bersyukur karena Dian membawa power bank. Baterai 5% itu pun terselamatkan beserta rasa bosannya.
Sabar aja kalau gitu.
Iya, Kitty lagi ngapain?
Percakapan klasik ini tak dapat Nanda hindari. Ia tidak terbiasa mencari pembahasan dan kerap memilih menerima segala pertanyaan yang dilontarkan. Bila canggung telah mencekik, jurusnya hanya 'sedang apa' dan 'sudah makan atau belum'.
Main sama Melo.
Kucing baru lagi?
Iya. Besok kan masih libur, ke sini aja.
Nanda memandang layar ponsel dan kakaknya bergantian. Alisnya bertaut dan matanya memicing. Ia menelan ludah lalu menggaruk kening.
Sorry, besok nemenin Mas Dian latihan lagi. Acara perpisahan udah deket.
"Nda!"
Sang empunya nama tersentak. Ia lekas mendongak dan menatap Dian tak suka. Nada tinggi seperti ini adalah salah satu hal yang Nanda benci.
"Apa!" jawabnya ketus.
Dian terkikik dan menyatukan kedua tangannya. "Sorry, sorry, lupa. Boleh minta tolong, gak?"
"Emang kalau gak mau, kagak dipaksa?"
"Hehe," kekeh laki-laki yang tiga tahun lebih tua dari adiknya tersebut.
"Apa?"
Dian beranjak dari tempatnya dan menghampiri Nanda. "Beliin air mineral, lima sama kamu. Kalau sisa, boleh beli snack," ucapnya seraya memberikan selembar uang 20 ribu.
Dengan malas, Nanda meraihnya. "OK."
Anak yang sebentar lagi memasuki masa putih abu-abu itu keluar ruangan dengan seperangkat kekasihnya-ponsel, power bank, dan headset. Meski kesal karena lagi-lagi harus menjadi kacung, Nanda bersyukur bisa bergerak leluasa. Duduk selama itu menambah kakinya semakin lunglai.
Beruntunglah karena studio musik ini memiliki mini kafe. Ia tak perlu keluar area 'tuk sekadar mencari air. Baik Nanda maupun Dian sama-sama sering mengunjungi tempat ini. Maklum, keduanya belum memiliki alat musik sendiri di rumah.
"Aw!"
Tanpa sebab, Nanda tersungkur begitu saja. Lututnya menghantam dinginnya lantai dengan cukup keras. Ia segera mengaduh saat kedua betisnya mati rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothersh!t ✔
Fiksi Umum[Pindah ke Dreame] Kita tidak pernah meminta pada Tuhan: seperti apa wujud kita saat terlahir, lengkap atau istimewa? Dari kalangan mana kita berasal, kaya atau sederhana? Siapa yang merawat kita, orang tua atau orang lain? Keluarga Ananda ingin men...