"Meski ku bukan yang pertama di hatimu, tapi cintaku terbaik ...."
Nanda mendengkus. Lagi-lagi lelapnya terusik. Ia lelah berusaha menghindar dengan memalingkan wajah ke kiri dan kanan. Suara dari kembang kelasnya selalu berhasil membuat gendang telinga meronta.
Sepanjang lorong yang dihuni kelas sembilan sungguh gaduh. Maklum, mereka tak lagi memiliki mata pelajaran apa pun. Murid-murid dibiarkan mendalami materi sendiri sebelum ujian nasional minggu depan.
Tak ayal beberapa siswa memanfaatkan momen tersebut. Ada yang bertugas memutar lagu koplo lewat laptop, berjoget di depan kelas tanpa urat malu, dan berlagak memberi saweran. Kurang dari lima anak yang menyumbat telinga dengan headset dan membaca buku. Selebihnya memilih tidur seperti yang Nanda lakukan sekarang.
Namun, aksi-aksi itu tentu tidak mudah. Dendang dari speaker tak mengizinkan mereka 'tuk hidup dengan tenang. Siswa yang mengemas ruang kelas menjadi tempat karaoke itu seakan tak rela bila ada yang tak ikut meramaikan.
Nanda menggeleng lalu mengacak rambut. Raut wajahnya telah berubah merah padam. Dahinya kembali berkerut saat rasa linu menjalar dari betis ke pangkal paha. Anak itu spontan memijatnya berulang kali, berharap dapat sedikit mengurangi.
"Sskk ...."
Pemilik nama lengkap Ananda Wardha itu semakin mengerang. Dipukulnya area yang telah menyiksa selama beberapa minggu terakhir itu. Refleks, ia menggigit bibir bagian dalamnya hingga rasa anyir menyeruak di dalam mulut.
"F-Fer ...," panggilnya terbata. Susah payah Nanda menarik celana kawannya yang sibuk membaca komik.
"Fer ...." Suara anak itu kian habis, ditelan oleh rasa sakit yang kini menghantam dada. Sesak berhasil mengambil alih.
"Fer ...."
"Apa sih, N- Nda? Kamu kenapa?"
Feri lekas menutup bacaannya kala melihat sahabat semasa orok menenggelamkan wajah. Tubuh itu kian lemas sampai tangan pun terkulai begitu saja. Telapak tangannya seakan tersengat saat mengusap punggung pecinta musik tersebut. Panas sekali.
Bari turut menoleh saat suara Feri mulai panik. Ia segera beranjak dan menghampiri kedua kawannya tersebut. "Kenapa?"
Feri menggeleng. "Kakimu sakit lagi, ya? Atau cuma pusing? Sesek, gak?" tanyanya bertubi-tubi.
Deru napas Nanda semakin bergetar. Hawa panas di tenggorokannya membuat lidahnya kelu. Ia pun mengangguk sebagai jawaban.
"Ke UKS aja, ya?" tawar Bari.
Tanpa menunggu jawaban, Feri memundurkan bangkunya lalu berjongkok. Bari yang tentu peka lekas membantu Nanda untuk bangun. Bukan hal yang sulit bagi Feri 'tuk menggendong tubuh kurus sahabatnya.
"Kamu tidur aja gak apa-apa."
Nanda mengangguk. Ia kembali memejamkan mata dan meletakkan dagunya pada pundak Feri. Kebiasaan yang tercipta saat Dian melakukan hal yang sama.
Bari mengantongi headset Nanda dan komik Feri. Tak lupa ia membawa botol minum one piece favoritnya. Ia berlari-lari kecil mengikuti kedua sahabatnya dari belakang.
"Tunggu!"
☘️☘️☘️
Anak itu mengangguk kesekian kali. Bibir pucatnya masih kebiruan. Lingkaran hitam di bawah matanya juga masih terlihat jelas.
"Udah sana!"
Lagi-lagi Nanda memamerkan lesung pipi yang lekas muncul, meski senyumnya tak terlalu lebar. Didorongnya Bari dan Feri untuk segera enyah dari hadapan. Raut kesal dari keduanya membuat Nanda kembali terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothersh!t ✔
General Fiction[Pindah ke Dreame] Kita tidak pernah meminta pada Tuhan: seperti apa wujud kita saat terlahir, lengkap atau istimewa? Dari kalangan mana kita berasal, kaya atau sederhana? Siapa yang merawat kita, orang tua atau orang lain? Keluarga Ananda ingin men...