Fajar menyingsing di ufuk timur diiringi suara merdu sang pembangun mimpi. Kumandang adzan subuh terdengar di seluruh penjuru desa, sebagai pertanda panggilan dariNya.Gemericik air terdengar di belakang rumah mungil yang terletak di ujung desa. Nek Imah tampak menimba air. Tangan kurusnya begitu kuat menarik tali timba hingga hanya dalam waktu sekejap ember-ember yang tadinya kosong sudah penuh dengan air.
"Nenek sudah bangun? Pagi sekali, Nek?" sapa Laila, cucu nenek Imah satu-satunya sambil beranjak menggantikan tugas sang nenek.
"Tidak apa, Sayang, sekali-kali Nenek siapkan air untuk kamu mandi," jawab Nek Imah.
"Gak bolehlah, Nek, sekarang ini Lila sudah besar. Sudah bisa nimba sendiri."
"Mendingan, sekarang Nenek solat dulu, setelah itu buatkan Lila sarapan. Yang enak lho, Nek!" seloroh sang cucu dengan manja.Nek Imah hanya bisa geleng-gelang kepala sambil tersenyum melihat tingkah cucunya.
Lila adalah panggilan Laila sehari-hari. Dulu waktu masih berusia 3 tahun Lila belum bisa menyebutkan namanya sendiri dengan benar. Dan itu terbawa sampai sekarang. Orang-orang sekitar rumah pun ikut memanggilnya dengan Lila.
"Nek, hari ini Lila pulangnya agak sorean ya. Mau mampir ke perpustakaan desa sebelah. Boleh kan, Nek?" Pinta Lila selesai memakan sarapannya.
"Perginya sama siapa?"
"Desa sebelah jauh, Lila."
"Nenek tidak ijinkan kalau kamu pergi sendiri," jawab sang Nenek."Lila bonceng Santi, Nek, masak iya Lila sendiri. Capek kali nek kalau harus jalan kaki." Lila menjawab sambil terkekeh geli.
"Beneran? Awas kalau bohong."
"Yah Nenek, emang Lila pernah bohong? Dosa lho, Nek, bohong itu."
"Iya iya boleh, udah sana berangkat ntar keburu siang, terlambat lagi." Usir sang nenek diiringi tawa sang cucu.
Laila berjalan kaki menuju jalan utama, menunggu angkot yang akan membawanya ke sekolah.
Ia sekolah di SMP favorit yang ada di kotanya. Meskipun ia berasal dari desa otaknya tidak kalah pintar dari anak-anak kota.Laila beruntung memiliki seorang Nenek yang mendukung penuh cita-cita nya untuk melanjutkan sekolah hingga jenjang yang ia inginkan.
***
"Ingat jaman perjuangan dulu lagi?" Senyuman mengembang di sudut bibir istrinya. Meskipun pandangan mata sang istri masih menerawang jauh ke luar jendela kamar, seakan titik-titik hujan yang membasahi bumi lebih menarik daripada wajah suaminya.
"Iya, Mas. Sayangnya nenek tidak merasakan kesuksesan kita. Kadang sedih mengingat kegigihannya dalam memperjuangkan apa yang aku inginkan." Ia senderkan kepalanya di dada bidang sang suami.
"Nenek sudah bahagia sekarang, Bun. Do'akan saja, karena hanya do'a dari kita yang beliau harapkan." Dielusnya surai hitam sang istri sambil sesekali diberi kecupan kecil.
"Sudah mulai dingin, yuk berbaring." Disentuhnya tangan sang istri yang sudah dingin. Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, ia menggendongnya menuju pembaringan.
Ditatapnya wajah suami dengan lembut, ia sentuh rahangnya yang bersih dari bulu-bulu halus. Dapat ia rasakan kasih sayang yang terpancar dari pandangan netra sang suami.
"Terima kasih telah menyayangiku dan mencintaiku dengan sepenuh hatimu." Ditariknya leher suaminya hingga berbaring di sampingnya.
"Harusnya aku yang berterima kasih padamu, sudah mau menerimaku untuk melengkapi hidupmu." Diciumnya pipi sang istri dan dibawa ke dalam dekapannya. Mereka tenggelam dalam kehangatan hingga membawa mereka masuk ke dalam mimpi indah.