"Alhamdulillah Bu lengkap semua tidak kurang suatu apa pun. Bayinya perempuan cantik sekali," ucap dukun bayi sambil memberikan bayi mungil itu kepada ibunya."Alhamdulillah, terima kasih, Mbah," jawab seorang wanita yang baru saja melahirkan itu.
Hari berganti hari bayi mungil itu tumbuh semakin besar. Ada sesuatu yang berbeda padanya. Matanya tidak seperti anak-anak pada umumnya. Meskipun ada kekurangan dalam matanya orang tuanya tetap menyayanginya dengan sepenuh hati.
Sang bayi kini sudah menjelma menjadi gadis cilik yang cantik dan ceria. Dia tidak pernah merasakan perbedaan yang ada padanya, karena orang tuanya memperlakukannya sama.
Tapi keceriaannya lambat laun berganti dengan kemuraman dan kesedihan. Karena teman-teman sepermainannya selalu mengejeknya dengan kata-kata yang kasar.
"Kero kero kero". Begitulah teman-temannya meneriakinya ketika bermain bersama.
"Ngapain kamu kesini, pergi sana." Teman yang lain pun tak mau menerima kehadirannya.
"Heh! Apa kamu lihat-lihat! Dasar kero." Hardik teman yang lainnya.
Sang gadis cilik pun akhirnya pulang ke rumah dengan memendam kesedihan yang luar biasa.
Ia tidak pernah menceritakan semua kejadian di luar rumah kepada orang tuanya. Karena ia tak ingin orang tuanya tahu kesedihannya. Ia selalu berharap orang tuanya melihatnya dengan bahagia.
Hal seperti itu berlangsung terus-menerus hingga sang gadis kecil akhirnya enggan bermain keluar rumah bersama teman-temannya. Hal itu menimbulkan kekhawatiran orang tuanya. Mereka khawatir anaknya merasakan tekanan karena kekurangannya.
"Sayang, kenapa tidak pernah bermain di luar bersama teman-temanmu?" tanya ibunya suatu hari.
"Gak ada apa apa Bu, cuma mau nemani nenek di rumah. Kan enak kalau di rumah nenek, beliau selalu membacakan buku cerita yang indah gambarnya," kilah sang putri menyembunyikan ketakutannya.
Ibunya percaya dengan semua yang dikatakan putri kecilnya. Karena memang putrinya nyaman bermain dengan neneknya. Di rumah neneknya ia merasa gembira karena nenek mempunyai perpustakaan yang penuh dengan berbagai macam buku. Ibunya juga tidak akan khawatir karena rumah nenek terhitung dekat dari rumah.
Kini tiba waktunya sang gadis cilik bersekolah. Ada ketakutan luar biasa dalam hatinya. Akankah ia diterima? Atau ditolak seperti biasanya?
"Assalamu'alaikum." Pamit sang putri tercinta.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan, jangan ngebut ya, Ayah." Pesan ibu pada ayah.
"Mbak, bolehkah Syifa berangkat bareng? Soalnya sekolahnya jauh dan kami … kami tidak ada kendaraan untuk mengantarkannya." Ibu Syifa meminta tolong dengan menundukkan kepalanya karena malu.
"Ayuk Syifa berangkat bareng, gak apa-apa kan, Sayang, Syifa bareng kita?" Sang ayah meminta persetujuan sang putri.
"Tentu saja boleh, malah Afshina senang ada temennya, sini duduk dekat aku. Pamit dulu sama ibunya." Syifa mencium punggung tangan ibunya dan berlari masuk ke dalam mobil.
"Terima kasih Afshina kamu mau memberikan tumpangan padaku." Tatapannya berkaca-kaca saat mengatakan hal itu.
"Kita kan teman, apalagi rumah kita dekat. Kalau kamu mau setiap hari bisa berangkat dan pulang bareng aku." Senyum manis membingkai wajah Afshina, dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan teman dihari pertama masuk sekolah.
"Teman." Syifa mengulurkan jari kelingkingnya untuk digandeng Afshina.
Sejak saat itu kemanapun mereka selalu bersama. Dimana ada Afshina di situ ada Syifa begitu juga sebaliknya.
Kadang apa yang kita takutkan tidaklah benar, oleh karena itu jangan pernah takut menghadapi hari esok. Tetaplah berjuang dan berusaha menjadi lebih baik dimanapun kita berada.