Terlalu lama menyimpan lara menjadikan hati mati rasa. Kecewa akan kenyataan yang terjadi membuat hati semakin mengerti, tidak semua yang kita inginkan bisa terealisasi. Hampa. Itulah yang terjadi.***
"Dek, kemarin ada yang mengajukan ini sama kakak. Baiknya langsung kamu apa Abi dulu?" ucap Kak Faruq sambil mengibas-ngibaskan sesuatu di depan wajahku.
"Apaan sih, Kak. Iseng banget deh, emang itu isinya apa?" Kucoba meraih amplop yang dipegang kakakku.
"Eits, kasih tahu gak ya?" Dia berkelit, menyimpan amplop itu di belakang tubuhnya.
"Gak penting banget deh, kalau emang mau dikasih Abi ya kasihkan aja sana. Kenapa juga pakai ngerecoki aku," kataku sebel.
"Tapi ini ada hubungannya sama kamu lho, Dek. Ini proposal ta'aruf yang diajukan buat kamu. Bener nih gak mau lihat dulu sebelum ke Abi?" ledek Kak Faruq.
"Apaan coba, udah biasa kali ada yang kasih proposal ke Abi buat minang anak gadisnya yang cantik ini. Emang dikiranya baru sekali ini?" Kujulurkan lidahku untuk meledeknya.
"Dasar sok pede kamu, Dek. Eh, tapi ya kalau bener sudah banyak yang mau sama kamu, kenapa sampai sekarang belum nikah juga, Dek?" Pertanyaan Kak Faruq hanya kujawab dengan mengendikkan bahuku.
"Jawab, Dek, jangan cuma kek gitu." Marah kakakku.
"Belum ada yang sreg di hati aja," jawabku asal.
"Memang pengen yang seperti apa, Dek? Jangan minta kriteria yang terlalu tinggi, ntar jadi perawan tua lho!" Kupelototkan mataku mendengar gurauan kakakku.
"Asal aja kalau ngomong, aku aduin Abi lho, sama adeknya malah nyumpahin bukannya do'akan yang baik-baik gitu." Kunaikkan sedikit intonasi bicaraku.
"Bukan gitu maksud kakak," timpalnya.
"Udah ah sana kasihkan aja ke Abi, jangan gangguin aku." Kudorong tubuhnya menjauh dariku.
"Kakak gak pengen kamu nungguin dia, Dek." Kak Faruq beranjak dari sofa yang dia duduki tanpa menoleh kembali.
Aku hanya termenung mendengar perkataannya. Apa maksud Kak Faruq? Apa mungkin? Kugeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir pemikiran yang tidak ingin aku akui jika memang benar adanya.
***
Aku Raida Syifa Azzahra, anak bungsu dari seorang guru agama yang sangat teguh memegang ajaran agamanya. Aku punya seorang kakak laki-laki yang bernama Muhammad Faruq Al Fahrezi. Kami terpaut umur cukup jauh yaitu lima tahun.
Sejak kecil kami sudah diajarkan ilmu agama dengan baik, sehingga kami tumbuh menjadi pribadi yang mengerti dengan apa yang boleh dan tidak boleh kami lakukan menurut agama kami. Kadang kami dianggap aneh oleh sebagian orang karena tidak mengikuti umumnya mereka.
"Jangan menangis hanya karena diejek teman-temanmu, dulu nabi kita bukan hanya diejek tapi juga disakiti secara fisik. Tapi beliau tidak menyerah dalam berdakwah sehingga kita bisa merasakan nikmat Islam sampai sekarang." Begitulah Abi menasehatiku saat menangis pulang sekolah karena dicela sebab kerudungku yang mereka bilang terlalu panjang.
Sejak saat itu, aku tidak pernah menanggapi apa yang mereka bicarakan mengenai diriku. Selagi aku berada dalam jalan kebenaran aku tidak akan gentar. Bahkan ketika semua teman-teman kecilku menjauhi, aku tidak peduli.
Mungkin sebab hal itu aku menjadi manusia yang egois, tidak peduli dengan lingkungan dan cenderung keras kepala. Kadang aku sendiri bingung kenapa bisa seperti ini.
"Bukan tanpa alasan kamu menjadi keras kepala, Dek. Tapi karena hati kamu terluka." Kata kakakku suatu hari.
***