Ketidak nyamanan rasa kadang membuahkan sesuatu yang tidak baik. Kegalauan hati membuat kata yang keluar dari bibir begitu menyakitkan bagi yang mendengarkan. Kadang hati tidak bisa diajak kompromi. Entah apa yang membuat hati ini menjadi begitu sakit.***
Sudah satu pekan hati Ilma merasa tidak tenang. Ada apa gerangan? Pertanda apakah ini? Apakah ada hubungannya dengan Ibu dan Ayah dirumah?
Kesulitan dalam menghubungi keduanya menjadi tambahan beban tersendiri.“Assalamu’alaikum, Mbak? sapa suara yang ada diseberang sana.
“Wa'alaikumsalam, maaf ini siapa ya?” jawabku.
“ Ini Reina, Mbak, tetangga Mbak di desa. Mbak ingat?”
“Reina? maaf kok mbak nggak ingat ya?” Ilma mengerutkan keningnya tanda sedang berfikir.
“Sebentar, Reina putranya Pak Salim? yang rumahnya belakang rumah mbak?” seru Ilma senang.“iya, Mbak, benar ini mau ....”
“Ada apa Reina? apa ada hubungannya dengan orang tuaku yang tidak bisa dihubungi?” potong Ilma cepat.
“eumm, ini mau mengabarkan kalau ….” Reina ragu mau melanjutkan perkataanya.
“Apa Reina? Tolong katakan saja, ada apa dengan orang tua mbak?”
“Bapaknya mbak kemarin terlibat keributan dengan Pak Razim dan sekarang beliau dirawat di Rumah sakit. Penyakit Jantungnya kambuh, Mbak.” Ilma tak kuasa menahan tangisnya, badannya limbung, kakinya lemas tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Ia pun jatuh ke sofa.
“Bapak …,” lirih Ilma sambil terisak, tak terasa handphone yang ada di genggaman tangannya luruh jatuh ke sofa yang ia duduki. Terjawab sudah kegundahan hatinya selama ini. Suara panggilan dari Reina sudah tidak dihiraukan lagi. Ilma hanya bisa terisak mengeluarkan tangisnya.
***
Ilma gelisah menunggu suaminya pulang kerja, sudah tidak sabar ingin bercerita tentang keadaan orang tuanya. Waktu terasa berputar begitu lambat. Sekitar pukul 17.00 wib suaminya pulang.
Suami Ilma adalah pegawai tetap di salah satu perusahaan swasta yang ada di kotanya. Pak Irsyad begitu orang memanggilnya. Seorang yang penyabar dan tampan, Irsyad adalah pribadi yang hangat tak heran jika ia mempunyai banyak teman.
Belum sampai masuk ke dalam rumah, Ilma sudah berlari menubruk suaminya sambil beruraian air mata. Ia sandarkan kepalanya di dada bidang suaminya. Meskipun kaget dengan apa yang dilakukan istrinya, Irsyad tetap membalas pelukannya.
"Suami pulang kok disambut dengan tangisan, Sayang. Ada apa hm, ayo masuk dulu cerita di dalam." Dilepaskan perlahan pelukan sang istri, dibawanya ke dalam rumah dan didudukkan di sofa ruang tamu.
Masih dengan terisak Ilma menceritakan kondisi bapaknya. Irsyad memeluk istrinya dan mengelus punggungnya sesekali mendaratkan ciuman di kepala istrinya, berusaha menenangkan pujaan hati.
"Kalau begitu sekarang kita bersiap untuk segera berangkat, mas bersih-bersih dulu ya." Ilma hanya bisa menganggukkan kepalanya.
***
Selama perjalanan Ilma hanya diam dan memandang ke luar jendela. Ingin rasanya Irsyad membawa tubuh ringkih istrinya ke dalam dekapannya seandainya ia tidak sedang menyetir. Ia hanya bisa menggenggam tangan sang istri berharap dapat menenangkan hatinya.
Irsyad tahu istrinya memang dekat dengan orang tuanya, baik ayah maupun ibunya. Jadi ia paham seberapa khawatirnya sang istri dengan keadaan ayahnya.
"Kita do'akan ayah segera pulih, dan kambuhnya kali ini tidak seperti tahun kemarin, jangan khawatir ya, Sayang." Dibawanya genggaman tangannya ke dadanya. Ilma hanya tersenyum menanggapi perkataan sang suami.