SATU

75 9 15
                                    

"Terima kasih, untuk ganjil yang kau genapkan, untuk nelangsa yang kau tandaskan."
•••

Gemerlap cahaya bulan menyusup melewati celah-celah ventilasi, ruangan 2 x 2 m² itu tampak bersih walau tidak bisa dibilang rapih. Setengah ruangan diisi dengan kasur kapuk yang sudah tidak empuk lagi, di sudut ruangan teronggok rak buku yang sudah lapuk dimakan rayap. Itu lebih baik-daripada almari pakaian yang hampir setengah roboh.

Terlepas dari semua itu, perempuan dengan rambut sebahu sedang duduk di atas kasur, membaca buku. Sesekali alisnya bertaut, bibirnya berdecak, menangis, lantas mengumpat cerita yang ia baca.

"YaAmpun, Bintang. Berhenti ngagetin aku!" Bulan berseru, wajahnya pucat.

Bintang masih menatapnya dari balik jendela, bertopang dagu. Tertawa melihat Bulan yang sedang mengelus dada dan menghela napas.

Bulan menatap Bintang sebal.

"Sejak kapan kamu ada disini?"

"Sejak tadi, Bulan." Bintang ringan mengangkat bahu, tanda tidak keberatan. "Aku bosan, mari kita jalan-jalan."

Bulan melotot, masih marah. Menghela napas sekejap, lantas di kejap berikutnya gesit berdiri, dan membereskan novel, masih bersungut-sungut. Bulan gesit sekali kalau itu permintaan Bintang, tidak peduli sekesal apapun dirinya. Bulan tergesa-gesa keluar dari rumah, membuka pintu perlahan-khawatir neneknya terbangun, bergegas menghampiri Bintang.

"Sudah?" Bintang bertanya, meraih jari-jari Bulan.

"Apa yang udah?" Bulan yang sedang menatap tangannya mengangkat wajah.

"Sudah marahnya?" Bintang nyengir.

Bulan melotot, meski di separuh wajahnya tersungging senyum. Bulan tidak berkomentar, hanya ikut tertawa, sedikit tersipu. Lantas mengikuti langkah Bintang, menyusuri jalan gelap, hanya berdua. Bintang menyodorkan sebungkus roti, Bulan menerima itu, membuka bungkusnya.

"Kita sudah kelas tiga, kamu berencana akan kuliah atau kerja?" Bintang bicara di sela kunyahannya.

Bulan menelan roti. "Eh, nggak tahu."

"Direncanakan dari sekarang, kamu harus membantu Nek Darmi. Tidak mungkin terus menyusahkannya, mulailah dewasa, Bulan."

Bulan terus menghabiskan roti, enggan berkomentar. Bintang memang selalu memikirkan yang terbaik-bahkan untuk Bulan. Dua-tiga menit berlalu, masa depan masih menjadi trending topic.

"Kamu dengar tidak?" Bintang bertanya, sedikit kesal.

Bulan mengangguk takzim, Bintang memang selalu begitu kalau sudah menyangkut masa depan, ceramah ini, ceramah itu, lantas berkata bahwa Bulan harus bisa diandalkan. Gerimis turun saat kami sudah tiba di persimpangan jalan besar, Bintang meraih tangan Bulan dengan cekatan, berlari menerobos jutaan tetes air.

"Maaf, saya lupa bawa payung." Kata Bintang sekenanya. Dua menit adegan hujan-hujanan itu terjadi, kami sudah duduk di kedai sate. Bulan menatap jalanan basah, ia tidak terlalu suka hujan-tidak ada alasan penting, hanya tidak suka saja.

"Kamu mau makan sate?" Bintang bertanya. Tangannya sibuk merogoh saku celana, mengambil sapu tangan, lantas menyerahkan kepada Bulan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Angkasa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang