Ulat!

3.2K 457 121
                                    

Bab 10 | Suger!

Di detik berikutnya aku sadar. Jika yang kemarin malam dia yang sadar, kini aku.

Cepat-cepat aku menarik diri. Agak susah awalnya, namun aku bisa lolos. Aku menjaga jarak sejauh mungkin dari Bryan. Meski aman yang aku maksud nggak aman-aman banget karena aku masih di dalam kamar. Sebisa mungkin mataku nggak menatap kontolnya yang tegang di situ. Ya, ampun. Sekilas aku melihat tadi, itu bukan kontol, gaes. Itu rudal.

Tapi aku lagi nggak mau bahas rudal, tentu saja.

"What are you doing?" tanyaku, memeluk diriku sok menjadi wanita yang ingin digagahi majikan atau semacamnya. Terlebih lagi, aku lumayan takut. Walau ada sedikit—oke, agak banyak—rasa sange di dalam diriku. Ciuman barusan terasa pas dan... seperti yang aku tunggu selama ini.

"Something about you—" ucapan Bryan terputus, dia menarik selimut untuk menutupi rudalnya yang masih saja tegang minta diobati. Obatnya pakai apa? Kalau nggak lubangku yah mulutku. Aku mikir apaan, sih? "I don't know, I'm sorry. Everytime I touch you, I want you. Ada yang aneh—"

Dia kembali memotong ucapannya. Berarti kami sama dong. Maksudnya... aku juga begitu. Setiap kali kami bersentuhan, atau aku yang menyentuhnya, ada perasaan gatal di hati yang menjurus aku menginginkannya. Entah ingin dientot atau hanya ingin dimanja-manja.

Perasaan ini yang membuatku memasukan Bryan ke daftar lelaki yang aku jatuhi perasaan ingin. Sedangkan Dokter Hansen perasaan beda lagi, perasaan mendamba karena dia begitu dewasa. Untuk Louis, perasaan yang agak susah dideskripsikan. Apa yang harus kulakukan?

"Kamu straight, Bryan." Aku berujar sambil melihat-lihat peluang untukku kabur dari sini. Ya, aku memang menginginkan Bryan. Tapi bukan dalam keadaan seperti ini.

Bryan terdiam. Kedua alisnya mengerut, berpikir keras tentang apa yang barusan aku katakan padanya. Dia duduk di kasur, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aku bimbang di detik berikutnya. Apakah aku harus kabur atau melanjutkan obrolan kami ini. Setelah berpikir lima detik, aku memutuskan untuk stay. Takut-takut, aku menghampirinya. Duduk di sebelahnya, menatap punggungnya yang bebas dari bulu. Aku merangkul pundaknya, ingin memberitahu bahwa semua yang terjadi nggak akan aku beritahu siapa-siapa. Terutama ke Kak Andrew ember.

Walaupun aku juga tahu bukan itu yang Bryan kuatirkan. Tentang aku yang akan memberitahu orang lain itu, lho. Oh, lupakan saja! Ada hal yang lebih penting.

"Aku juga gitu kok," beritahuku, mengelus pundaknya yang begitu kokoh. Bersandar di pundaknya selama nonton Netflix pasti seru. "Tiap kali aku nyentuh kamu kayak gini, aku juga pengen. Nggak tau lebih spesifiknya pengen apa. Yah, pokoknya antara pengen berbuat dosa ato sanderan doang."

Bryan melepas tangannya dari wajah. Matanya menatapku dengan tatapan intens yang bikin jantungku deg-degan nggak terkendali. Aku ingin dia mengentotku sambil matanya menatap mataku. Apa yang aku pikirkan barusan? Aku lonte, lonte, lonte. Ingat ada Dokter Hansen dan Louis.

"Sekarang kamu pasti nyesel udah nyium aku, kan? Kamu baru sadar kalo yang kamu cium tuh cowok. Bertitit." Aku melepaskan rangkulanku di pundaknya. "Aku bakal jaga rahasia kita ini. Oke?"

Bryan masih diam. Aku pusing mau ngomong apa lagi. Harusnya aku kabur saja tadi.

"Can I kiss you?" tanyanya, suaranya serak-serak basah menggoda. "Again?"

Aku mengerjap bingung. Aku sudah bilang sama dia bahwa dia itu straight. Aku nggak mau dia tiba-tiba bangun dan sadar kalau dia ada silat mulut sesama cowok. Silat yang aku maksud ciuman, ya. Selama aku hidup, aku nggak pernah yang namanya main sama straight. Mau dia semabuk apapun aku nggak berani mengganggu mereka. Temanku banyak kok yang ganteng dan straight dan suka mabuk-mabukan. Nggak ada satu pun dari mereka yang pernah aku mainin burungnya.

Petsitter!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang