Bulu Babi!

3.3K 446 167
                                    

Bab 9 | Rogowy!

Untungnya mereka nggak berantem, lho. Aku juga nggak berharap mereka merebutkanku atau apa. Jujur aja, aku nggak sejalang itu sampai berpikir ingin direbutkan. Rite!

Nah, entah kenapa semenjak pulang dari rumah Marco dan mendapati situasi aman terkendali seperti tadi, membuat aku bahagia. Seolah-olah aku punya tiga—oke, dua, Bryan nggak masuk hitungan, dia hanya ada di dalam kepalaku saja—lelaki simpanan dan mereka akur semua. Lia saja sampai risih melihat aku senyum-senyum daritadi.

Biasanya aku akan melirik judes setiap Cagar datang membawa Pizie—babi peliharaannya yang lucu. Jenis babi cebol yang mengalami pertumbuhan yang salah. Babi itu warna pink pastel dengan pita merah yang selalu menghiasi kupingnya yang turun ke bawah. Dan kenapa aku bahas babi?

Intinya, aku senang. Aku punya hak untuk senang, kan?

"Oke, I hate you, Upil!" gerutu Lia, membanting dua kaleng Tuna makanan kucing. "Aku sebel banget ngeliat kamu senyum-senyum kayak gitu. Ada apa, sih? Tell me, dong!"

Aku menggerling sambil tersenyum. Wajah Lia makin frustasi. Aku pura-pura mengklik sales hari ini di komputer, padahal mah nggak akan ada yang berubah juga. Hari ini sudah lumayan, kok. Kami menghasilkan empat jutaan. Ini baru jam dua siang. Belum nanti sore Dokter Hansen ada janji temu sama beberapa pasien. Untuk ukuran petshop merangkap klinik, tempat ini lumayan laku.

Lia duduk di sampingku, matanya makin memicing tajam. "Pil, Upil ijo, kasih tau!"

"Ya, ampun berisik banget sih!" Aku menggerutu sebal. Bohongan, aku nggak bisa sebal kayaknya hari ini. Aku senang soalnya Louis sama Dokter Hansen tadi itu saling mengedikan kepala, semacam salam bro-to-bro gitu lah di dunia laki-laki. "Nggak ada apa-apa, kok. Emang senyum nggak boleh?"

"Senyum kamu tuh aneh, kayak ada yang kamu sembunyiin. Apaan, ih?"

Untung saja ada Mamang Gojek masuk ke petshop. Aku langsung berdiri dan menyambut. Kami juga tersedia di Go-Mart, lho. Kalau kalian malas beli ke sini, bisa pesan di sana. Kenapa aku malah promosi segala, sih? Oh, itu kan juga salah satu tugasku, ya. Lupa.

"Siang, Bli. Ada yang bisa dibantu?"

Aku baru sadar dia membawa kotak makanan dan entah apa itu yang kayak buku tebal. Oh, majalah. "Saya nganter makanan, Dek. Buat—" Dia baca sebentar nama tujuan yang tertera di HP-nya. "Upil."

"Urvil," sergahku masih dengan senyuman. Maksudku, banyak sekali bule yang memang nggak gitu main di huruf R, sehingga tiap menyebut namaku jatuhnya jadi Upil. Bahkan di SMA dulu ejekan paling ampuh teman-temanku yah Upil. Seperti yang Lia lakukan tadi. "Saya itu, Bli."

"Nah, ini." Dia menyerahkanku sekotak nasi dengan logo ayam sedang meniup seruling bambu. Aku suka sekali beli makan di sana, enak. "Sama ini."

"Tapi aku nggak pesen, Bli."

"Ini dipesen sama—" Dia kembali melirik HP-nya. "Mas Uis, met makan—dia bilang."

Oh, si Louis. Aku kembali senyum-senyum nggak jelas. Aku bisa rasakan mata Lia makin memicing tajam. Seandainya dia Cyclops, mungkin tubuhku sudah dilaser sama dia. "Makasih, Bli."

Selesai mengklik konfirmasi, Mamang Gojek-nya pergi. Sudah mulai dia jalankan ya misi PDKT-nya padaku. Sampai bela-belain beli ini segala buat aku makan siang. Bukannya aku mulai luluh atau apa. Seumur aku hidup, nggak pernah ada yang seperhatian ini. Dokter Hansen perhatian, sih. Tapi aku suka aja sama yang Louis lakukan ini tuh. Kesannya aku ini gadis-gadis manja yang diinginkan setengah mati. Hihihi, ya ampun! Duh, jadi malu!

Petsitter!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang