Lipan!

2.6K 351 139
                                    

Bab 15 | Umuntu Nkunda!

Mau tidur jam berapapun, aku pasti selalu bangun pagi. Semalam aku pulang jam setengah dua lebih. Hampir jam dua lah. Aku pelan-pelan bawa motornya. Bianca lumayan mabuk, that's why aku nggak bisa ngebut. Ngebut sedikit aja betina hina itu bisa kejungkal.

Semalaman itu aku menghabiskan waktu bersama Louis di mobilnya. Nggak banyak percakapan yang berlangsung, kami sibuk ciuman. Ini saja aku rasa bibirku jontor. Aku nggak perlu filler atau suntik pembesar bibir. Louis meninggalkan cupang di pundakku. Untungnya aku jenis manusia yang bila dicupang, bekas cupangannya akan hilang dalam waktu beberapa jam. Hebat, kan? Mungkin darahku mengandung serum atau apalah. Siapa tahu darahku bisa dijadikan skincare buat orang yang ingin cepat-cepat menghilangkan bekas cupang.

Aku bangkit dari kasur, menuju ke kaca. Biasanya, aku akan tumbuh beruntusan di daerah bawah dagu bila minum banyak alkohol. Semalam tidak begitu banyak. Sekitar dua botol. Tapi nggak ada salahnya langsung disiasati. Kadang setelah terbit beruntusan, muncul lah jerawat.

Aku kadang iri sama cowok yang wajahnya tuh nggak pernah kenal sama skincare tapi tetap mulus.

"Lo mau ikut ke Balangan nggak, Dek?" Kepala Kak Andrew muncul dari balik pintu. Orang-orang di rumah ini mana pernah kenalan sama namanya mengetuk pintu agar terkesan sopan. Dan aku juga selalu lupa mengunci pintu. Untung setiap coli aku di kamar mandi. Biasanya sih nggak coli, kan aku punya fuck buddy. "Kita surfing."

"Nggak, ah. Males. Aku mau maskeran aja." Emina Green Tea masker ini bagus, deh. Aku suka sensasi dingin pas di-apply ke wajah. Anehnya, setiap pakai yang mahal aku nggak cocok. Yang murah kayak Emina gini, aku cocok. "Plus, aku kerja sekitar—" aku melirik jam, "empat jam-an lagi."

"Kalo nggak mau bagus, lah. Bryan yang nyuruh gue ngajakin lo."

Aku langsung membuang masker Emina-ku. "Aku ganti celana dulu."

"CENTIL!" pekik Kak Andrew seraya membanting pintu.

Mungkin sudah sekitar tiga bulanan aku nggak pergi surfing. Terakhir aku pergi ke pantai malah sebulan yang lalu. Itu pun hanya duduk di pinggir pantai. Kangen Ayah. Biasanya kami bertiga melakukan hal itu sebulan sekali. Duduk di pinggir pantai sambil minum es kelapa dan makan lumpia siram kaus kacang. Sekarang sudah tidak pernah lagi.

Aku rasa karena Bunda juga nggak sanggup melakukan itu kembali. Yang paling kehilangan di antara kami adalah Bunda. Beberapa kali aku memergoki Bunda menangis. Hati mungkin bisa ikhlas, tetapi rasa sedih akan tetap ada. Rasanya sulit sekali ditinggalkan orang yang sangat dicintai.

"Kuy, Kak!" Aku membawa surfboard kado dari Dad Frank. Katanya sih beliau beli yang second. Tapi aku tahu Dad Frank bohong agar Bunda nggak mencecarnya. Bunda nggak suka Dad Frank buang-buang uang. Ini surfboard benar-benar terasa baru. Aku pakai ini baru enam kali. "Bryan nunggu."

"Cih!" judesnya penuh kesumat. Aku sih pura-pura bodoh aja.

Selama perjalanan di mobil, Kak Andrew sama sekali nggak memberikan wejangan apa-apa. Tumben banget, kan? Namun aku senang dia nggak melakukannya. Rasanya damai sentosa.

Kami sampai lima belas menit kemudian. Amanda—pacar Kak Andrew—lagi memberi anjing-anjing liar makan. Aku memeluknya dari belakang, menyapa. Eh, ada Loki. Anjing pemilik Warung Ombak tempat langganan kami makan setiap ke sini. Aku memainkan telinga Loki yang lucu.

"Lo ada something ya ama Bryan?" tanya Amanda, matanya yang besar disipitkan.

Aku mendengus agar dia nggak curiga. Aku belum ada rencana memberitahu siapapun soal kami. Aku dan Bryan. Kan Bryan juga punya reputasi. Pasti dia nggak mau lah dicap gay. It doesn't mean jadi gay tuh buruk-buruk banget, ya. Hanya saja, kan orang taunya dia straight.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Petsitter!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang