Bismillah,
Salsa berdiri di depan jendela persegi yang menghadap ke taman kecil di halaman rumahnya. Jendela itu dilapisi stiker buram yang membuat orang dari luar tak bisa melihat ke bagian dalam rumah dengan jelas. Gerimis masih turun perlahan, meninggalkan kabut tipis yang membuat kesan suram semakin mencekik. Kilasan kejadian pagi itu melewati benaknya.
Dia tahu betul Aditya bersiap pergi di pagi buta. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi bergaris abu-abu dimasukkan ke dalam tempat jas beritsleting. Sebuah peci berwarna hitam juga ikut dibawa. Kemudian Adit memasukkan sebuah kotak perhiasan berwarna merah berbentuk hati ke dalam mobilnya. Salsa tidak bodoh untuk memahami apa yang akan dilakukan Adit dengan benda-benda itu.
Sudah pasti Adit akan menikahi perempuan itu hari ini.
Salsa meletakkan tangannya di dadanya, meremas bajunya. Mencoba menahan perih perasaannya melihat semua itu. Dia tahu dini hari tadi Adit berdiri di depan kamar tamu yang sekarang di tempatinya. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran lelaki yang sudah menjadi suaminya selama 5 tahun itu. Apakah Adit mengkhawatirkan dirinya? Atau Adit ingin mengatakan selamat tinggal? Salsa menggigit bibirnya. Tak ada tangis karena dia pun sudah terlalu lelah untuk menangisi kegagalannya.
Kenapa rasanya sakit untuk mengakui bahwa dia gagal? Satu sisi hatinya menolak untuk menyatakan bahwa dia gagal. Tidak! Salsa belum gagal. Dia masih bisa mempertahankan pernikahannya. Ini hanya masalah menentukan pilihan saja. Dengan langkah terseok, Salsa melangkah. Jika dia harus kalah, paling tidak dia kalah dengan terhormat.
Salsa membuka lemarinya. Dia mengeluarkan beberapa dokumen dan memindahkannya ke dalam sebuah tas berwarna hitam. Tas itu disimpannya di dalam kamar tamu yang sekarang di tempatinya. Dia juga sudah menimbang ruangan mana yang akan diklaimnya. Dia tidak akan membiarkan ini menjadi mudah untuk Adit atau Amara. Salsa terus bergerak ditemani hatinya yang patah. Sesekali dia berhenti, mengatur napasnya yang memburu. Sampai akhirnya dia selesai dan jatuh terduduk, dengan setetes air mata mengalir lamban di pipinya.
Perempuan itu harus tahu bahwa Salsa tak semudah itu dikalahkan!
***
Syukuran akad nikah Adit dan Amara baru saja usai. Rumah itu kembali lengang seperti awal. Di luar hujan masih setia menyelimuti Malang. Adit bersandar di kepala ranjang sembari melipat kedua tangannya di belakang kepala. Rambut ikalnya terlihat berantakan dan wajahnya terlihat mengantuk. Pria berkulit sawo matang itu memejamkan mata mencoba memanggil kembali bayangan Salsa. Namun suara Amara membuyarkan lamunannya.
"Mas, kok bisa sih, tadi salah sebut nama? Aku kan, jadi malu sama orang-orang."
Amara duduk membelakangi Adit yang sekarang sudah menjadi suaminya. Mereka sedang beristirahat di kamar Amara setelah acara akad nikah itu usai. Bibir Amara cemberut, menggambarkan suasana hatinya yang buruk gara-gara insiden salah sebut nama tadi.
"Sorry, Sayang. Aku tadi lagi nggak fokus. Aku dan Salsa habis bertengkar semalam. Nggak tau kenapa aku ngerasa nggak bisa melepaskan bayangan wajahnya sejak semalam."
"Bilang aja kamu kangen sama Salsa! Kalo gitu ngapain kamu ke sini, Mas?"
"Ngambek, ya?" Adit tersenyum mencolek pipi Amara yang menggembung lucu.
"Jangan pegang-pegang aku, ah! Sana pergi!"
"Ara, Sayang. Nggak usah ngambek gitu, dong. Aku ke sini kan, untuk menepati janjiku. Aku nikah sama kamu. Kamu nggak bisa cemburu sama Salsa. Aku kan, udah bilang berkali-kali kalo ...."
"Salsa cinta pertama dan sejatimu, iya kan?! Aku sudah tahu itu. Nggak usah kamu ulang-ulang terus. Bosen tau nggak?!"
Adit diam. Dia membiarkan Amara dengan kemarahannya. Entahlah dia sedang lelah harus merayu dan membujuk seperti biasanya. Jadi dia meninggalkan Amara, melangkah keluar dari kamar yang pengap itu. Sekarang Adit berdiri dan menatap keluar dari jendela samping rumah Amara yang sebagian sudah dimakan rayap itu. Menghembuskan napas dengan lelah. Dia membatin bertanya, sedang apa Salsa sekarang? Apakah Salsa tahu bahwa suaminya sudah menikah lagi?
Adit menundukkan kepalanya menatap ubin berwarna kelabu itu. Penyesalan yang semakin membesar memenuhi hatinya yang kini sesak. Dia sungguh merindukan Salsa. Tapi dia tidak bisa mundur lagi dan meralat semua kesalahannya, walaupun dia begitu ingin melakukannya.
***
Malam itu sunyi, hanya derik hujan yang menimpa atap rumah memainkan harmoni pilu. Samar-samar suara burung hantu dari rimbun pepohonan jati tak jauh dari rumah Salsa ikut menyanyikan lagu sendu. Salsa tak dapat memejamkan matanya seharian ini, memikirkan Adit sedang mengucap ijab kabul untuk perempuan itu. Satu janji lagi diucapkan disaksikan malaikat, dan janji itu pernah diucapkan Adit untuk Salsa di hadapan seluruh keluarganya.
Salsa menegakkan tubuhnya ketika didengarnya deru mobil Adit memasuki garasi. Dia ingin keluar, menemui Adit. Entah untuk apa. Salsa hanya ingin menatap kedua mata suaminya dan meyakinkan dirinya bahwa memang Adit telah menikah hari ini. Sejenak dia ragu, apakah dia sanggup menghadapi lelaki yang dicintainya itu?
Akhirnya ... Salsa melangkah ragu, keluar dari kamarnya. Memberanikan diri menghadapi Adit. Dia tidak memikirkan akan mengatakan apa, itu tidak penting. Dia hanya perlu menatap Adit tepat di kedua matanya dan Salsa akan tahu kebenarannya. Sehingga benaknya tak perlu lagi dipenuhi tanya dan mungkin dia akan bisa tertidur malam ini.
"Sals? Kok belum tidur?" Adit baru saja memasuki ruang televisi dan menemukan Salsa duduk dengan tenang. Bahkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap terlihat di meja di depannya.
Acara televisi menayangkan serial detektif Magnum P.I kesukaan istrinya itu. Seorang perempuan rekan Magnum, Higgins mantan agen rahasia inggris yang cerdas adalah tokoh favorit Salsa. Sekarang istrinya itu sedang menatap Juliet Higgins dengan mata tak berkedip.
"Belum. Nggak bisa tidur." Salsa menjawab tanpa menatap Adit.
Adit mendekati tempat Salsa duduk. Laki-laki itu kemudian duduk di meja dan meraih kopi, menyesapnya tepat di bekas bibir Salsa.
"Ini liptint yang sama, kan?"
Salsa hanya melirik Adit dan kembali menonton filmya.
"Masih wangi, seperti wangi bibirmu biasanya, Sals."
"Apa maumu, Mas?"
Salsa menarik cangkir kopinya dengan kasar. Membiarkan beberapa titik kopi tumpah di tangannya. Adit diam membiarkan pertanyaan Salsa tidak terjawab. Dia hanya memandangi istrinya itu dengan tatapan penuh kerinduan.
"Aku hanya ingin memandangmu, nggak boleh?"
"Ini bukan waktunya gombal. Ngegombal sana sama Amara." Salsa bergeming, malah menyesap kopinya setelah menghapus bekas bibir Adit dengan tangannya.
"Minggir, aku mau nonton film." Salsa memberi isyarat dengan tangannya karena sekarang Adit menghalangi pandangannya.
"Sals, seharian ini ... aku ... merindukanmu."
Salsa mengerutkan kening, menatap Adit dengan heran. Dia tidak mau tertipu dengan kalimat rayuan Adit. Tapi melihat ekspresi Adit yang serius, sepertinya itu bukan rayuan.
"Sekarang kenapa sulit sekali bikin kamu percaya sama aku, Sals?" sambung Adit dengan lirih.
"Itu pertanyaan yang bisa kamu jawab sendiri kan, Mas?"
Adit menatapnya dengan pandangan mata yang entah apa maknanya. Salsa pun membalas tatapan itu. Hanya dalam sepersekian detik, Salsa sudah tahu bahwa dugaannya tentang apa yang terjadi hari ini memang benar. Adit sudah menikahi Amara.
Salsa meraih remote dan mematikan televisi. Dia sudah kehilangan mood untuk menonton. Kalimat Adit tentang kerinduan entah kenapa membuatnya pilu. Karena dia pun merindukan Adit, Aditnya yang dulu. Namun kerinduannya kalah dengan sesak yang perlahan merambati hatinya dan melingkupi seluruh tubuhnya. Sesak karena suaminya hari ini bukan hanya suaminya, tetapi juga suami Amara. Salsa berdiri dan hendak melangkah meninggalkan Adit yang masih menatapnya.
"Selamat, Mas."
Adit terperangah menatap Salsa.
"Selamat atas pernikahanmu!"
Dengan hati hancur Salsa meninggalkan Adit yang menatapnya sampai dia menghilang di balik pintu kamarnya.
Jadi pengen nangis juga -_-
First published July 17 2020
Republished June 19 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Bercerai
RomansaJika pilihannya bertahan atau menyerang, mana yang akan kau ambil? Salsabila memilih keduanya. Bertahan dalam pernikahan yang dihantam badai, dan menyerang Amara yang berusaha menghancurkan pernikahannya. Sayangnya, setiap perjuangan harus berhenti...