Hujan Kedelapan

15 5 0
                                    

Dalam 2 tahun lebih di SMA, untuk pertama kalinya aku membolos. Bersembunyi di atap sekolah dan melewatkan pelajaran Bu Erina hanya karena tidak ingin bertemu Nesya.

Sekarang aku mulai menyesal dengan keputusanku datang ke sekolah jika bisa tetap di rumah dengan berpura-pura sakit. Padahal mataku yang bengkak dan wajahku yang memerah karena menangis semalaman sudah bisa menjadi bukti bahwa aku sedang sakit.

Aku menelungkupkan wajahku diantara kedua kakiku yang kulipat di depan dada. Air mataku seakan tidak dapat keluar lagi tapi rasa sakit di hatiku masih belum hilang.

Pernahkah kalian dihianati oleh sahabat yang paling kalian sayangi? Bukan tentang Nesya yang menyukai Auhea, tapi tentang pesan berisikan hal-hal buruk tentangku yang dia kirimkan kepada laki-laki petrichor itu.

Selama ini Auhea benar. Akulah yang dibutakan oleh rasa sayangku kepada Nesya. Disaat aku sudah menyesal seperti ini, apakah Auhea akan memaafkanku? Hanya ada satu cara untuk memastikannya.

Aku berdiri, berjalan menuruni tangga menuju lantai satu. Jam pelajaran masih berlangsung, sehingga tidak ada orang yang melihat penampilan berantakanku. Jika ada yang melihat pun aku tidak akan peduli.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu berwarna putih, ruangan kepala sekolah. Menarik nafas panjang, berusaha mengumpulkan nyali dan berpikir positive. Tanganku mengetuk pintu perlahan, menunggu tetapi tidak menerima jawaban apapun dari dalam.

Aku mendorong pintu di depanku dengan ragu. Pintu terbuka, diiringi dengan bunyi deritan dari gesekan engsel yang berkarat. Mataku menangkap sosok laki-laki yang menoleh terkejut ketika melihatku. Wajahnya ditempel plester luka dan diujung bibirnya terlihat memar kemerahan.

"Auhea...?" Aku menggumamkan namanya, seolah memberi pertanyaan tentang keadaannya.

Auhea mendekatiku dengan cepat dan menatap wajahku lekat-lekat. Tangannya merapikan rambutku yang kurasa sangat berantakan karena tertiup angin.

"Kau baik-baik saja?" Dia bertanya dengan penuh kekhawatiran, "kau sakit?"

Aku menggeleng, meraih tangannya, meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Auhea membawaku memasuki ruang kepala sekolah dan mendudukanku diatas sofa yang tersedia di sana.

"Ayahku sedang pergi, jadi jangan sungkan untuk bercerita"

Sungguh laki-laki yang baik, padahal aku sudah melanggar janji karena tidak mempercayainya.

"Maafkan aku" ucapku lirih, suaraku seakan habis bersamaan dengan air mataku. "Kau benar tentang Nesya, dia menghianatiku. Dan kemarin dia memintaku untuk melepaskanmu."

Mata kami bertatapan. Sudut bibirnya terangkat tetapi alisnya ditarik kebawah, senyuman yang menyiratkan kesedihan.

"Jadi dia mengatakan hal buruk tentangmu karena dia suka padaku?" Dia memutar matanya dengan kesal. "Bagiku...semuanya terserah padamu" Auhea kembali menatapku, "aku bukanlah orang yang bisa berjuang secara sepihak..."

Hatiku seakan diremas. Betapa sulitnya untuk memilih antara pertemanan dan cinta.

"Tapi untukmu, aku akan berjuang bahkan ketika kau menyerah sekalipun" ucapan Auhea selanjutnya membuat jantungku berdetak sangat kencang. Perasaanku berubah menjadi hangat, senyuman di wajahnya terasa menenangkan, membuatku ikut tersenyum. "Karena kau adalah calon istriku" dia terkekeh, tapi sedetik kemudian meringis karena memar di sudut bibirnya.

"Kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu bisa terluka seperti ini?" Melupakan masalah Nesya, kini aku lebih mengkhawatirkan keadaannya.

"Ini..." Auhea gelagapan, bingung mencari alasan yang tepat.

"Kau harus jujur kepada calon istrimu" godaanku sukses membuat wajah Auhea berubah merah. Tangan kanannya menyentuh dadanya seolah berusaha menetralkan detak jantungnya. Gelat lucunya membuatku terkikik.

Laki-laki petrichor itu berdehem sebelum berbicara. "Brian mengajakku berkelahi" ucapan Auhea membuatku terkejut, "aku tidak berniat meladeninya, tapi aku juga harus membela diri kan?"

Jadi ini alasan kenapa wajah Brian dipenuhi luka.

"Membela diri, tapi lebih parah luka Brian dari pada lukamu, kacamatanya juga patah" candaku.

Auhea menggaruk tengkuknya, "itu karena dia selalu membawa namamu, aku jadi kesal" jelasnya sambil memasang ekspresi cemberut.

Aku kembali tertawa, diikuti cengiran lugu darinya. Setelah puas tertawa, kami kembali saling menatap satu sama lain. Auhea seolah menerima ucapan maaf dariku karena telah melanggar janji kami. Membiarkan yang lalu biarlah berlalu dan membentuk ikatan yang lebih erat satu sama lain.

"Oh iya, kau menerima jaketku kemarin?" Pertanyaan Auhea membuatku bingung.

"Bukankah kau memberikannya untuk Nesya?"

Auhea terlihat bingung, "tidak, aku memintanya memberikan jaket itu padamu, karena kemarin cuacanya benar-benar dingin dan kau tidak membawa jaket"

Aku meringis, Nesya berbohong. Kini aku benar-benar sadar bahwa yang selalu berada di sisiku adalah perempuan yang bisa menusukku untuk apa yang dia inginkan.

Mungkin sudah saatnya untukku meminta penjelasannya. Cukup Brian saja yang pergi, aku tidak ingin membiarkan Nesya pergi sekalipun dia sudah menginjakku habis-habisan. Aku akan memaafkannya bahkan jika dia tidak meminta maaf, rasa sayangku memang sebesar itu untuknya.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang