Hujan Kelima

15 5 0
                                    

Weekend akhirnya tiba, tapi aku tetap harus datang ke sekolah karena ada rapat OSIS yang akan dilaksanakan 1 jam lagi. Sudah biasa bagiku untuk datang lebih awal dari agenda yang direncanakan, tapi aku tidak tahu bahwa aku akan mandi hujan karena datang lebih awal.

Hujan turun tepat saat aku sampai di halte. Kekesalanku menjadi bertambah sekarang. Pertama karena aku tidak bertemu laki-laki petrichor itu setelah dia datang ke kelas, kedua karena agenda rapat dadakan ini, dan ketiga karena harus menerobos hujan untuk menghadiri rapat penting. Walaupun aku suka hujan, tapi siapapun pasti akan kesal jika pakaiannya basah ketika harus menghadiri acara formal.

Berpikir dua kali, aku akhirnya memutuskan untuk berteduh saja di halte sampai hujannya reda. Jika hujannya tidak kunjung reda, mau tidak mau aku harus berlari menerobos hujan, lagi pula jarak halte ini dengan sekolah terbilang cukup dekat.

Duduk sendirian di halte, menatap hujan yang terasa hampa tanpa kehadiran laki-laki itu. Aku terus berpikir, kenapa dia begitu mempermainkan perasaanku? Membuatku senang dengan datang ke sekolah dan duduk di sebelahku, kemudian membuatku sedih dengan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun kepadaku.

Aku mengerang lemah. Betapa egoisnya aku sehingga berpikir kami memiliki chemistry. Kenyataannya adalah kami hanya dua insan yang bertemu saat hujan, tidak lebih dari itu. Jadi tentu saja dia pasti berpikir aku ini tidak penting untuknya, ini adalah perasaan cinta secara sepihak yang begitu menyiksaku.

Saat sedang melamun, pandanganku terhalang oleh mobil berwarna hitam yang tiba-tiba berhenti di depanku. Aku kenal mobil itu, mobil milik pak Hendrik, kepala sekolah SMA Langit. Beliau merupakan panutan sekaligus guru favorite kami semua terutama para siswi, karena walaupun sudah terbilang berumur wajah beliau masih terlihat tampan dan berwibawa, seakan memancarkan aura kepemimpinan. Beliau memang biasanya menyapa kami lewat kaca mobilnya, sehingga kami hafal nomor plat mobil hitam milik pak Hendrik.

Aku berdiri untuk menyapa pak Hendrik ketika melihat kaca mobilnya diturunkan, tapi betapa terkejutnya aku ketika yang kulihat bukanlah pak Hendrik, melainkan laki-laki tampan dengan jaket hitam yang menunjukkan wajah kesalnya kearahku.

"Oh, jadi ini 'Aileen Sasikirana' yang kemarin meninggalkanku sendirian dikeroyok massa, takut kehujanan ya? Kasihan" dia menekan namaku dalam ucapan yang bernada mengejek itu.

Aku tersinggung, tapi tetap berusaha tidak marah karena aku menyukainya. Siapa yang bisa marah kepada laki-laki berwajah bak patung David karya Michelangelo yang begitu menawan itu?

Dia menyipitkan matanya, menunjukkan bahwa dia makin kesal. "Jangan hanya diam! Ayo masuk!" Kemudian dia mengarahkan pandangannya ke depan seolah membuang muka.

Walaupun aku menjadi bingung karena sikapnya, tapi aku tetap menuruti perintahnya, lagi pula ini menguntungkan karena aku tidak perlu menerobos hujan untuk sampai ke sekolah.

Begitu aku memasuki mobilnya, aroma lemon dan vanilla menyambut indra penciumanku, membuat pikiranku rileks seketika. Entah kenapa, semua tentang laki-laki ini membuatku makin menyukainya, bahkan caranya marah sekalipun, begitu menarik perhatianku.

Setelah dia memastikan bahwa aku sudah duduk dengan aman di sampingnya, dia melajukan mobilnya dengan pelan, suara hujan seakan menjadi melody untuk mencairkan suasana diantara kami yang sama-sama membisu.

Bahkan ketika kami sudah sampai di parkiran sekolah, tidak ada satupun yang berbicara. Kami hanya diam seperti patung, seakan jika ada sedikit gerakan saja dunia akan meledak dan membinasakan kami berdua.

Disela-sela suara hujan yang begitu nyaring, aku bisa mendengar hembusan nafas kasar dari laki-laki di sampingku, kemudian tatapan matanya mengarah tepat ke mataku.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang