Bab 13

2K 290 17
                                    

Hinata mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Refleksi dirinya yang terpantul oleh cermin di depannya itu membuat Hinata lupa akan dirinya sendiri.

Wajahnya yang jarang memakai riasan itu terlihat berbeda. Pipinya lebih merah merona, bibirnya lebih berwarna, dan garis matanya lebih ketara, Hinata tidak yakin kalau perempuan yang ada di depannya ini adalah dirinya sendiri.

Sekarang pukul sembilan kurang beberapa menit, Hinata yang sudah berada di tempat ini sebelum jam enam itu hanya bisa berdiam diri sambil melipat kedua tangannya. Seorang penata rias berdiri di sampingnya. Perempuan yang umurnya sekitar lima tahun di atasnya itu sedang berkutat pada rambut panjang milik Hinata. Kedua tangannya bergerak cepat mengatur tiap helai rambut hinata tanpa terkecuali.

Hinata tidak tahu harus mengekspresikan perasaannya seperti apa. Hari ini adalah upacara pernikahannya. Seluruh orang di keluarganya menyambut acara sakral itu dengan antusiasme yang tinggi. Namun, sekalipun acara itu ditunggu-tunggu banyak orang, Hinata tidak merasa antusiasme itu ikut menularinya.

Hinata tidak begitu ingat bagaimana paginya tadi; ia bahkan tidak begitu ingat seperti apa mimpinya semalam. Tahu-tahu saja ia sudah berada di ruang rias ini; tahu-tahu saja ia sudah dirias sedemikian rupanya. Akhir-akhir ini Hinata merasa hari-harinya berjalan dengan cepat. Ia tidak sempat mengingat detail hari-harinya dengan jelas.

Hinata tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Namun, kenyataan bahwa ia akan melepas status lajangnya selama dua puluh tahun ini, membuat dirinya cemat dan gugup. Hinata merasa dirinya akan memasuki dunia yang tidak ia kenali; Hinata merasa ia akan meninggalkan dunia yang selama ini ia jalani.

Penata rias yang sudah dua jam in berkutat pada Hinata itu sudah selesai menata rambut Hinata. Setelah memasangkan tulle yang tidak begitu pendek di kepala Hinata, penata rias itu pergi meninggalkan Hinata sendiri.

Hinata menghela napasnya sejenak. Ruang tunggu pengantin itu mendadak hening. Hanya ada Hinata seorang yang berada di ruangan itu. Baru kali ini orang-orang meninggalkannya sendiri setelah sekian Hinata berada di tempat ini.

Rasanya cukup melegakan, mengingat Hinata tidak begitu suka di tengah-tengah keramaian. Waktu sendiri yang tenang dan hening ini cukup menenangkan Hinata yang gugup. Namun, di saat yang bersamaan, suasana ini juga terasa lebih mencekam dan menegangkan.

Apakah benar keputusannya yang diambil ini adalah pilihan yang benar? Apakah benar hidupnya setelah ini akan berjalan baik-baik saja? Apakah benar Hinata tidak akan menyesali apa yang ia lakukan saat ini di masa depan?

Hinata terus berpikir selagi ia memiliki waktu. Kesempatan kabur masih terbuka lebar, tapi sekalipun Hinata menyadari akan kesempatan itu, ia memilih untuk duduk dan menunggu kesempatan itu hilang dimakan waktu.

"Untuk ukuran seorang pengantin wanita, kau telihat luar biasa."

Suara yang cukup Hinata kenali itu masuk ke dalam gendang telinganya. Nadanya cukup berat dan dalam. Hinata kenal dengan suara itu; Ia sangat mengenali suara itu. Hyuuga Neji—kakak sepupunya—sedang berdiri di ambang pintu ruang riasnya sembari membawa satu buket bunga mawar putih.

Pria berambut panjang itu terlihat berbeda daripada biasanya. Rambut panjangnya diikat dan ia mengenakan jas warna kelabu lengkap dengan waistcoat di dalamnya. Sangat kontras dengan penampilan hariannya yang cukup santai untuk ukuran pria pebisnis.

"Bagaimana kabarmu, nona pengantin?"

Hinata langsung beranjak dari kursinya tanpa pikir panjang. Perempuan yang hanya setinggi seratus enam puluh senti kurang sedikit itu memeluk Neji tanpa pikir panjang. Tidak hanya itu, ia bahkan mengabaikan riasannya yang bakal rusak karena aksinya barusan.

Eyes on youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang