A MIRACLE
•••
MATAHARI terbenam begitu cepat, seperti tak mau memberi cerah semangat untukku. Keadaan menggelap dan aku masih setia duduk di kursi kayu ini. Satu per satu titik cahaya muncul dibalik gelapnya langit. Kuperhatikannya dengan mata hitamku. Pandanganku berhenti pada bintang yang paling terang dan lebih besar dari yang lain. Senyumku merekah, kutatap lama kilapan cahaya di atas sana. Ibu? tanyaku dalam hati. Bintang itu berkedip seakan menyapaku. Ku lambaikan tangan kearahnya. Aku memang masih mempercayai mitos seperti ini. Senyumku hampir merosot, setetes air mata meluncur ke permukaan pipi ku. Tidak, ibu tak boleh melihatku menangis. Punggung tanganku mengelap pipi ku yang basah.
Kehangatan menjalari leherku. Kulihat kebelakang, keberadaannya membuatku sedikit terkejut. Ia membenarkan syal wol yang menyelimuti leher ini.
“Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, kau harus memakainya.” ujarnya disertai senyuman hangat miliknya
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Lagi, berada sedekat ini dengan orang asing membuat jantungku berpacu lebih cepat. Lain kali aku harus melatih jantungku terlebih dulu sebelum bertemu orang orang. Ia duduk bertumpu dengan ujung belakang sepatunya. Matanya mengarah ke atas.
“Siapa yang kau tatap di sana?” tanyanya
Aku tak menjawab pertanyaannya, aku sibuk mengontrol degup jantungku yang tak beraturan.
Ia menoleh kearahku, wajahnya agak condong ke depan agar bisa melihat wajahku.
Terkejut apa yang dilakukanya, aku memundurkan wajahku refleks.
“Ap- apa?” tanyaku terbata
“Ada apa denganmu?” lalu ia menjauhkan wajahnya dariku.
Ia bersikap seperti tak terjadi apa apa. Apa ia tak mengerti kalau yang barusan ia lakukan sudah membuat jantungku berdetak tak karuan karena takut juga karena ... aku belum bisa menjelaskannya.
“Siapa yang kau rindukan?” ia melontarkan pertanyaan lagi
Tiba tiba kejadian dimana ia bisa membaca pikiranku terlintas di otak ku.
Mengatur nafas sejenak, “Bukankah kau bisa membaca pikiran orang lain? Kau pasti tahu siapa yang ku rindu kan.”
“Tapi aku lebih suka bertanya langsung padamu.”
Biasa saja, tapi membuat hatiku tersenyum.
Berusaha menahan jeritan senang dalam jiwa, kujawab seadanya.
“Aku merindukan ibuku.”“Turut berduka cita atas itu. Siapa namamu?”
Aku berfikir keras, apa aku harus memberitahu identitasku pada orang tidak kukenal ini?
Berucap pelan, “Evelyn Cathrice. Kau bisa memanggilku Eve.”
Bibirnya tertarik keatas, “Nama yang indah.”
Lalu ia mengambil tanganku dan membawanya dalam genggamannya, “Edrick Froy Kingston. Panggil aku Edrick.”Buru buru aku mengambil alih tanganku lalu tersenyum kikuk. Tanpa sadar, jantungku sudah kembali normal dan rasa takut itupun sedikit tersingkirkan.
“Dari mana asalmu?”
“Dimana ini?” aku malah balik bertanya
Ia tampak keheranan. “Kukira kau warga sekitar sini. Apa kau salah jalan?”
“Kerajaan apa ini?” aku masih bertanya
“The Kingdom of Magic.”
Magic dia bilang?
Aku menahan tawaku, ini aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLISS
FantasíaTerjerat di dalam sebuah buku membuatku senang sekaligus bimbang. Senang akan bertemu dengannya dan, bimbang akan bagaimana keluarnya. Namun, pada akhirnya bimbang yang awalnya tentang 'bagaimana keluarnya' berubah menjadi tentang 'bagaimana cara un...