I

2 1 0
                                    

Naira diam. Ia tak tahu harus menjawab apa.

"Dia malah nyari kesempatan dengan kasih gue minuman terus menerus. Gue benci ngingatnya. Malam itu, semua harga diri gue hancur. Dan yang lebih parahnya, dia ngerekam semuanya, Nai. Semuanya. Gue malu."

Naira mulai merasa bersalah karena membuka luka lama Jana. Mungkin itu adalah mimpi buruknya, masa-masa tersulit yang bahkan tak ingin ia bagi dengan siapapun termasuk Naira. Kebencian Naira mulai mengakar, ia benar-benar akan beri pelajaran pada pria brengsek itu.

"Gue udah minta putus, tapi dia selalu ngancam bakal nyebarin video itu. Setiap pulang sekolah, dia datang kesini dan ngajak gue ngelakuin itu. Gue nolak. Tapi dia selalu kasih ancaman yang sama, video itu. Gue rasanya hampir stress mikirin gimana caranya gue bisa hapus video itu. Gue gak bisa ngelawan, Nai. Gue sebatang kara, gak ada keluarga sama sekali. Cukup keluarga aja yang pergi dari gue, jangan semua orang-orang yang ada di sekitar gue ikut pergi gara-gara video itu."

"Lo harusnya cerita sama gue, semuanya gak bakal tambah buruk kalo lo minta bantuan. Kita makhluk sosial, gak bakal bisa hidup sendiri." Naira berkata gemas.

Jana mengangguk pelan. "Gue baru sadar itu sekarang. Dan akhirnya semua kebodohan gue berujung ini. Anak yang gak pernah diharapkan ada."

"Jana yang gue kenal gak pernah bisa ngomong sekasar itu." Sergah Naira.

"Gue gak marah sama Wawa." Jawab Jana. "Gue marah sama diri sendiri. Dimata orang, Wawa bakal jadi aib. Dia mungkin selalu dipandang sinis nantinya, karena itu gue bilang ke semua orang kalo dia itu adik angkat gue. Adik yang gue dapat terlantar." Sambungnya.

Naira diam lagi. Ia kesal tapi juga sedih.

"Orang-orang mulai gosip tentang lo."   Ucap Naira pelan. Ia memejamkan mata rapat. "Di sekolah mulai ada gosip kalo lo punya anak, Na."

"Mungkin ... Gak lama lagi gue bakal di DO." Jana berkata pelan. Ia menatap sedih anaknya yang terlelap di gendongannya.

"Ini semua salah gue ...."

"Berhenti nyalahin diri sendiri. Semuanya udah telat sekarang."

"Maaf, Nai—"

"Minta maaf sama orangtua lo di makam sana. Lo udah buat mereka kecewa." Naira berkata ketus. "Termasuk gue sebenernya."

"Gue harus gimana?" Parau Jana. Ia terisak pelan. "Gue harus gimana, Nai? Gue gak bisa gugurin Wawa, gue gak sejahat itu!" Teriaknya frustasi.

Naira mendekat. Ia mengelus pundak sang sahabat pelan. Pasti ini semua berat bagi Jana. Perempuan yang selalu memarahinya, merecokinya dengan segala ceramah khas emak-emak kini menangis meraung menyesali nasibnya.

"Sekarang kasih tau gue siapa nama bajingan yang hamilin lo itu?"

Tangis Jana mendadak berhenti. Ia menatap bulat pada Naira. "Nai?"

"Kasih tau gue. Biar gue mampusin dia."

"Gak." Jawab Jana. "Gue benci sama dia, tapi gak lo yang harus balas dia. Biar gue aja nantinya."

"Tapi gue mau bantu!" Naira bersikeras. "Siapa namanya? Anak mana? Sekolah 'kan? Cepat kasih tau, Jana. Cepat. Cepat. Cepat!"

"Dia satu sekolah sama kita." Jawab Jana.

Naira berseru heboh. "Wah! Pasti lo eneg liat muka gak bersalah dia setelah buat lo gini!"

"Dia kelas 11-B."

Kening Naira berkerut.

"Oke, namanya?"

Jana melirik Naira. Ia mendesah panjang sambil menunduk dalam.

"Namanya Alvin."

•••••

Cookies[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang