PROLOG : Daffa, Tori, & Rio.
...
The hardest game to win,
is a won game.– Emanuel Lasker
...
"Lo tahu kenapa semua cewek itu nyebelin?"
Sapaan Daffa yang lesu sama sekali tidak mengagetkan Victoria yang membuka pintu. Sama dengan penampilan gadis itu yang seadanya dengan kaos oblong putih dan celana ponggol biru, wajahnya berlapis masker organik dan kedua matanya digantikan irisan timun beku. Tidak mengagetkan.
"Excuse me?" bunyi Victoria tersinggung, rambutnya yang disanggul berantakan bergerak-gerak di atas puncak kepalanya. "Mungkin lo belum sadar--" kedua tangannya bergerak menunjuk seluruh badannya dari atas sampai bawah. "--tapi gue ini cewek."
Daffa menggerakkan bahu malas sebelum melengos masuk begitu saja tanpa diundang. "Yeah, tapi lo uda kayak bro untuk gue."
Victoria berkacak pinggang, menutup pagar rumahnya dan menggembok gerendel. Sebelum Daffa sempat pergi terlalu jauh, ia memekik,
"Wait!"
Pemuda tinggi itu menoleh malas. "Apaan?"
Victoria menjulurkan kedua tangannya ke depan, seperti orang tunanetra yang meminta untuk digandeng. "Gue gak bisa liat apa-apa. Gandengin gue masuk rumah."
"Tadi lu buka pager pake apa? Mata kaki?" tanya Daffa jengkel, bagaimanapun menghampiri untuk menggandeng tangan cewek itu.
"Mata batin," jawab Victoria dengan nada serius, kakinya menapaki anak tangga dengan berhati-hati. "Pake feeling dong, but you know gue orangnya mati rasa. Gimana kalau gue tangkep kodok di depan rumah sendiri?"
"Kenapa nggak dilepas aja mata timun lo?" tanya Daffa sebal, berjongkok untuk membantu Victoria melepas sandal rumahnya.
Gadis itu yang tidak tahu malah langsung asal menendang, nyaris saja salah satu sandalnya mencipta jejak di wajah mulus Daffa. "No way! Timun ini gue bekuin dua belas jam, you know? Siapa yang punya waktu sebanyak itu?"
Daffa menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah, bergegas berdiri dan menyusul Victoria masuk ke dalam rumahnya. Cewek itu masih meracau, kaki jenjangnya bergerak santai menaiki tangga tanpa kesulitan. "Belum lagi hari ini gue latihan sama Madamé Clarissa, dan dia milih gue untuk solo Dance of The Sugar Plum Fairy di recital Singapur bulan depan."
Victoria sudah tahu seluk-beluk rumahnya, Daffa tahu ia tidak akan kepentok walau mata kaki dan mata batinnya ditutup sekalipun.
"Gila, kan?? Belum lagi waktu kelas piano sama Sir Edbert. Dia bilang kalau gue cukup berbakat untuk piece Chopin Etude Op. 10 No. 4. Si Torrent yang jadi momok untuk semua pemain piano di kelas kita! Kenapa sih dia nggak mau kasih gue piece Tchaikovsky aja? Jari gue keram-- oh!" Cewek itu berbalik, menatap sahabatnya yang memasang raut wajah wajar.
Daffa seringkali datang malam-malam dengan sejuta problema cintanya, tetapi Victoria juga sering menyerobot percakapan dengan pribadinya yang cerewet, meski hanya dengan Daffa. Dan Daffa biasanya tidak bisa mengerti sebaris pun kalimat yang diucapkan gadis itu kalau sudah berhubungan dengan kesibukannya. Victoria adalah gadis yang pelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
check-mate. | wonyoung, win
Fanfiction[ON-HOLD] "You're a queen, but I'm just a pawn." Victoria Anastasia tidak pernah menginginkan lebih dari memasangkan sahabat masa kecilnya Daffa dengan perempuan yang tepat-- alasan satu karena sayang, alasan dua karena ia butuh Daffa untuk konsen...