t w o

249 56 80
                                    

TWO : Victoria dan Cinta Pertama

...

“In life, as in chess, one’s own pawns block one’s way.  A man’s very wealthy, ease, leisure, children, books, which should help him to win, more often checkmate him.”

– Charles Buxton

...

Victoria mungkin tidak mengingat pertama kali ia bertatap mata dengan Mario, tetapi lelaki itu mengingatnya seperti triangulasi peta-- pantang dilupakan, karena jika dilupakan, siap-siaplah untuk tersesat tiga hari tiga malam di dalam hutan belantara.

Kira-kira beberapa bulan yang lalu, sehari sebelum upacara ospek sekolah menengah atas, Mario berdiri di luar aula sekolah dengan kakak sepupunya, Fiona.

Gadis itu tinggi dengan kulit eksotis yang kelihatan cantik. Ibunya orang Thailand, sehingga wajahnya terbilang unik. Ia lulusan sekolah ini, kini menempuh pendidikan lebih lanjut di Malaysia.

"Yakin boleh?" tanya Mario ragu sambil tertatih-tatih mengikuti langkahnya menuju depan pintu aula.

"Auhh, chill!" seru gadis itu dengan aksen kental. Ia melepaskan cengkramannya dari tangan Mario lalu melipat tangan di depan dada. "Gue lulusan musik terbaik di sekolah ini. Anggap aja gue datang berkunjung sebagai alumni! Gak ada yang bakal berani ngusir kita!" lalu ia tertawa menggelegar.

"Suara lo, kak," keluh Mario sambil memegang telinganya. "Gue gak budeg."

Fiona menyengir. "Ayo cepet! Lo beruntung dapetin pre-tour sebelum ospek!" Ia kembali menarik-narik tangan sang adik. "Gue gak sabar mau mainin piano di concert hall. Gue kangen banget sama Josephine!"

"Guru piano disini namanya Sir Edbert," sahut Mario mengoreksi sementara keduanya melangkah masuk ke dalam lift.

"Gue tahu Sir Edbert!" Fiona tertawa geli sambil menekan tombol lantai kelima, tempat aula konser khusus musik. "Josephine itu nama pianonya. Gue yang namain, keren kan?"

Mario menatap kakak sepupunya datar. "Gue selama ini pikir pianis itu kalem-kalem semua," katanya sembari menyandarkan badan ke sisi lift. "But after seeing you? Buyaaaar."

Fiona melotot tidak terima. "Hei, lu belum pernah aja liat gue main piano. Gue ini queen of the queens! Serius, cantik, seksi, dan tempo gue gak pernah salah!"

"Muji diri terus, ratu narsis."

Kepala Mario dipukul menggunakan tas tangan yang beratnya seperti beton-- entah apa saja yang disimpan perempuan di dalam sana. Ia mengaduh, dan pintu lift berdenting terbuka.

Fiona duluan melengos keluar, langkahnya melompat-lompat ringan namun hiperaktif. Mario mengikuti sambil memijit kepala belakangnya.

"Bukannya concert hall dikunci kalau nggak ada konser?" tanyanya setengah berseru, takut tidak kedengaran oleh kakaknya yang sudah berlari-lari menuju pintu utama mahoni putih yang berukiran megah.

"Kita juga pikir gedung pertunjukan bakal dikunci kalau hari libur!" balas Fiona dari kejauhan. "Tapi buktinya kita bisa masuk!"

"Mungkin mau dibersihkan!" seru Mario sambil berkacak pinggang, wajahnya agak cemas. "Kaaaak, gausah daaah! Main piano di rumah ajaaaaa!"

Ia tahu jelas mereka melanggar peraturan dengan asal masuk ke wilayah sekolah tanpa berkepentingan. Lebih parah lagi, Mario tidak akan menjadi siswa sekolah ini sampai besok. Bagaimana kalau mereka dipergok seseorang dan ia terkena masalah?

check-mate. | wonyoung, winTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang