Around The Burning Candle (2016)

5 1 0
                                    

Jarum jam bergulir, representasi waktu yang tanpa ampun menghancurkan segalanya. A kembali membuka pintu kamar. B sudah ada disana menyunggingkan senyum, eksistensinya sama seperti lampu yang sesekali redup.

Dia melambaikan tangan, memintanya untuk mendekat. A mengikuti, meraba kulitnya ketika mereka sudah cukup dekat agar yakin ini bukanlah mimpi. Cahaya lilin berpendar suram disampingnya.

Jangan sampai ada kata yang terbuang sia-sia, batin mereka. Pagi enggan menunggu dan kedua orang itu tidak bisa memberontak hukum alam. Waktu mereka hanya satu malam setiap tahun.

Lilin terbakar meneteskan detik-detik yang berlalu, perlambang masa mereka berdua. Berhenti ketika sumbunya habis dan apinya padam. Lalu pasangan itu akan terpisah dalam dinding tak berbentuk namun sungguh nyata.

Peraduan senyap tadi sekarang dipenuhi suara, kontradiksi dengan hening diluar rumah. A dan B berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang dunia diluar kendali mereka. Berbagai ucapan menuntun supaya bukan hanya kalimat yang tertukar.

Rengkuhan hangat berkembang menjadi kecupan, dan aksi mereka semakin menjadi-jadi, semakin dalam hingga tubuh kedua anomali itu menyatu dan bercampur. Bibir saling beradu, lalu berpisah dan menikmati wilayah lain yang dapat dijamahi. Suam-suam lepas tak terkendali melesatkan api lilin biar sumbu didalamnya lekas hangus tanpa sisa.

B berlutut diatas lawan mainnya. Menatap, membuka, menyentuh, menembus, dan menghentak.

Akhirnya titik-titik benih berceceran mengotori kasur. Persenggamaan telah usai, nafas yang memburu perlahan-lahan lenyap mengikuti kepulan awan hitam.

A menatap tajam pada lilin, mengancamnya untuk tetap terbakar. Tapi apa daya, dia hanya manusia yang terkadang dianggap tak pantas untuk ada, belum lagi identitas rahasianya sebagai seorang penyimpangan.

"Aku ingin berhenti" gumamnya.

"Kenapa?"

"Aku ingin kau membawaku pergi. Entah kemana, yang penting menghilang"

"Tidak semudah itu A" B melingkarkan tangan pada pinggang A, meraba pelan apa-apa yang berada dibawahnya.

"Bagaimana dengan mimpimu? Kalau kita lari sekarang kau akan menyesal" lanjutnya.

"Mereka pernah lakukan apa untukku? Kadang-kadang aku merasa seperti ibu yang anaknya durhaka" sembari setengah bercanda A mengeratkan selimut, mengusir dingin dari tubuhnya yang telanjang.

Inilah resiko punya mimpi memperbaiki orang banyak. Kalau mereka tidak mau dituntun tapi masih mengeluh setiap saat, cepat atau lambat siapapun pasti frustrasi.

"Masih banyak yang mendukungmu" kata-kata B hanya dibalas dengan senyap.

Di penghujung malam, kedua lelaki itu kembali berbicara. Bergurau, mengeluh, mengkhayalkan bayang-bayang rumah kecil jauh dari keramaian dunia dan para manusia yang suka menghakimi, suatu tempat dimana dinding tak berbentuk mustahil bisa menggapai mereka. Hal-hal yang tidak boleh mereka harapkan.

Lilin sudah padam, matahari telah menelan habis hitamnya angkasa. Mereka terbangun pada dua tempat berbeda, sebagai orang lain. Diam-diam menunggu malam selanjutnya di tahun yang akan datang.

My KaleidoscopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang